Menurutnya, mencuatnya kasus kematian seorang guru dan bayi bermula dari buruknya pola komunikasi yang dibangun oleh perawat, bidan hingga tenaga medis pada saat menangani pasien.
“Harusnya pihak rumah sakit bisa memberikan penjelasan secara rinci, bisa memberikan ketenangan terhadap pasien dalam setiap tahapan medis yang dilalui oleh pasien dan keluarganya, itu yang harus dilakukan sehingga keluarga tahu apa yang terjadi pada pasien dan risiko apa yang akan terjadi, itu yang harus dijelaskan seharusnya,” ungkapnya.
BACA JUGA: Curi Aliran Listrik, Tambang Kripto di Kota Depok Diamankan
Rahmat menyebut, pola komunikasi semacam itu dalam istilah medis disebut dengan komunikasi terapeutik.
“Komunikasi terapeutik adalah bagian utama dalam sistem pelayanan terhadap pasien, artinya pasien dan keluarga harus mendapatkan informasi yang jelas terkait penanganan medis apa yang akan dilakukan, sehingga pasien atau keluarga bisa menolak atau melanjutkan terkait penanganan medis tersebut,” tuturnya.
“Kalau pasyen setuju untuk menerima tindakan medis dengan segala risikonya, maka boleh dilanjutkan tapi kalau pasyen atau keluarga tidak setuju untuk suatu tindakan medis tertentu maka pasyen dan keluarga pun berhak menolaknya,” lanjutnya.
Diberitakan sebelumnya, Seorang guru PNS di Kabupaten Sumedang meninggal dunia bersama bayi yang dikandungnya saat proses persalinan di RSUD Sumedang. Penanganan RSUD Sumedang pun dinilai lalai serta lamban oleh pihak keluarga korban.
Guru tersebut diketahui bernama Mamay Maida (30), warga Dusun Cipeureu, Desa Buanamekar, Kecamatan Cibugeul, Kabupten Sumedang. Ia mengajar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sarang Tengah.
Bayi yang masih berada di dalam kandungan itu merupakan anak keduanya setelah sebelumnya telah dikaruniai seorang anak perempuan yang kini telah berusia 5 tahun. (Mg11)
BACA JUGA: Semrawut!!! Kota Depok Perlu Perda Guna Tata dan Bina PKL