JABAR EKSPRES – Tim gabungan pakar hukum nasional turut berembuk menyikapi kasus dugaan korupsi pertambangan yang menyeret Eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Ridwan Djamaluddin. Hal itu untuk meluruskan potret diskresi yang jadi polemik dalam kasus tersebut.
Baca Juga: Pakai Stategi Memecah Zona, Pj Gubernur Jabar Optimis Kebakaran TPA Sarimukti Padam
Sejumlah pakar yang turut menelaah dalam tim gabungan pakar hukum itu di antaranya, Prof I Gede Pantja Astawa yang merupakan pakar hukum administrasi negara, Prof Didin Muhafidin yang merupakan pakar kebijakan publik, Mantan hakim tipikor HM Nawawi, Yadiman, Adjat Sudrajat yang meripakan mantan Jamintel Kejagung dan Laude Barian yang merupakan mantan DPRD Sulawesi Tenggara.
Dalam dialog yang dilakukan melalui webinar hingga observasi ke lokasi itu, para pakar menyimpulkan sejumlah point terkait kasus tersebut. Pertama, diskresi merupakan kewenangan bebas yang dimiliki oleh pejabat tertentu sebagaimana diatur pada UU Administrasi Pemerintahan No 30 tahun 2014.
Dalam kasus Ridwan Djamaluddin, ia melakukan diskresi di 2022 dalam rangka pemberian Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), mengingat situasi dan kondisi yang mendesak. Diskresi itu juga dilaksanakan secara transparan melalui Rapimtas 30 Desember 2021. Sehingga kaidah akuntable tetap berlaku, termasuk menjaga integritas untuk kentingan umum dan nasional sebagai implementasi arahan Presiden Jokowi untuk penyederhanaan perijinan.
Dalam perkara yang bergulir, penyidik dari Kejati Sulawesi Tenggara mempermasalahkan RKAB yang diterbitkan atas dasar diskresi Dirjen Minerba dengan tuduhan melakukan korupsi dan potensi merugikan negara Rp 5,76 triliyun. Tetapi penyidik tidak melakukan klarifikasi persyaratan dokumen pada saat proses penerbitan RKAB.
Kemudian tuduhan penyidik juga tidak dilakukan evaluasi dan pengawasan lapangan mengenai kecukupan cadangan deposit. Dari database yang ada cadangan deposit masih 2,06 Juta MT sementara yang dimohon atau diberikan RKAB hanya 1,5 Juta MT. Artinya masih mencukupi.
Pada 2022 telah dihasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan dengan kontribusi APBN sebesar Rp 180 triliun. Kalau diskresi Dirjen Minerba dipersoalkan maka keabsahan PNBP sebesar Rp 180 triliun tersebut jadi pertanyaan.