JABAR EKSPRES – Pandemi COVID-19 kembali menjadi perbincangan hangat setelah seorang dokter terkenal mengunggah postingan kontroversial di media sosial. Postingan tersebut mengklaim bahwa “Pandemi 2.0” akan muncul pada tahun 2023, bukan pada tahun 2025 seperti yang dijadwalkan sebelumnya.
Dalam postingan tersebut, juga disebutkan kemungkinan adanya aturan lockdown dan kewajiban penggunaan masker selama satu hingga dua bulan. Pernyataan ini menciptakan kebingungan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Namun, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Adib Khumaidi, menyarankan masyarakat untuk hanya mempercayai informasi dari sumber yang terpercaya. Menurutnya, klaim tentang munculnya “Pandemi 2.0” pada tahun 2023 tidak didukung oleh bukti ilmiah atau penelitian yang valid.
Baca Juga: Partai Golkar dengan Tegas Mendukung Prabowo Subianto di Pilpres 2024
Dr. Adib Khumaidi menjelaskan, “Kami tidak menemukan dasar ilmiah untuk klaim ini. Oleh karena itu, kami menghimbau masyarakat untuk mencari informasi terkait kesehatan dari sumber yang dapat dipercaya, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau perhimpunan dokter spesialis lainnya yang memiliki kredibilitas global.”
Ia juga menegaskan bahwa informasi yang beredar tidak berasal dari IDI, melainkan merupakan pandangan pribadi individu yang tidak mewakili pandangan resmi organisasi.
Masih Ada Ratusan Ribu yang Dirawat Akibat COVID-19
Sementara kontroversi seputar “Pandemi 2.0” terus berlanjut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan keprihatinan terhadap tren yang tidak menggembirakan terkait COVID-19, khususnya di belahan bumi bagian utara. WHO mendesak peningkatan upaya vaksinasi dan pengawasan.
Meskipun banyak negara telah berhenti melaporkan data terkait virus Corona, WHO memperkirakan bahwa masih ada ratusan ribu orang di seluruh dunia yang saat ini sedang dirawat di rumah sakit akibat COVID-19.
Baca Juga: BRIN: Perubahan Iklim Berdampak Signifikan Terhadap Populasi Tumbuhan di Bumi
“Kami terus mengawasi perkembangan COVID-19 menjelang musim dingin di belahan bumi utara,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Tedros menyoroti peningkatan angka kematian di beberapa wilayah Timur Tengah dan Asia, peningkatan penerimaan pasien di unit perawatan intensif di Eropa, serta peningkatan jumlah pasien yang dirawat inap di beberapa wilayah lainnya.