JABAR EKSPRES – Di akhir pekan ini, dunia khususnya negara – negara di sekitar kawasan China dihebohkan dengan Peta Baru China 2023 (2023 Standard Map of China) yang dirilis oleh Kementerian Sumber Daya Alam China. Beberapa negara bereaksi keras dengan peta baru tersebut karena dinilai mencaplok beberapa wilayah yang saat ini dianggap milik negara – negara tersebut. Berbagai media pun memuat banyak pendapat dan analisis terkait hal ini.
Kemunculan peta baru China tersebut, jelas membuat ketidaknyamanan regional dan membuat panas sejumlah negara. Bahkan India, Malaysia dan Filipina telah memberikan nota protes. Hal ini tentu bisa dimaklumi karena dinilai mengganggu serta menggerogoti teritori negara lain. Dengan peta lama yang dikenal dengan ‘9 Dash Line’ saja telah menimbulkan gejolak kawasan, apalagi saat ini menjadi ’10 Dash Line’.
BACA JUGA: Negara-negara yang Menentang Rilis Peta Baru China
Menanggapi reaksi dari beberapa negara tersebut, Kementerian Luar Negeri China telah melakukan konferensi pers pada hari Kamis lalu, dimana ia menyatakan bahwa peta baru tersebut merupakan praktik rutin dalam pelaksanaan kedaulatan China. Bahkan Presiden Xi Jinping meminta semua pihak agar tidak bertindak berlebihan, tetap obyektif dan tenang, serta menahan diri untuk tidak menafsirkan masalah ini secara berlebihan. Namun pernyataan tersebut tidak mendinginkan suasana kebatinan para pimpinan negara yang merasa keberatan, malah timbul berbagai analisis yang mungkin terjadi. “Penguatan sistem pertahanan menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari lagi dalam merespon segala kemungkinan yang bisa terjadi di kawasan. Termasuk kemungkinan terjadinya perang, jika solusi damai dinilai tidak lagi menjadi pilihan.
Beberapa negara yang berkeratan dengan ‘Peta Baru China’ ini, berpedoman pada putusan Arbitrase tahun 2016 membatalkan 9 garis putus-putus China. Wilayah maritim di Laut China Selatan (LCS) sesuai dengan klaim China dinilai bertentangan dengan konvensi dan tidak memiliki dampak hukum sepanjang wilayah tersebut melampaui batas geografis dan substantif hak maritim China berdasarkan konvensi. Jadi klaim apapun termasuk apa yang tertuang dalam ‘Peta Baru China’ tersebut, harus sesuai dengan hukum laut UNCLOS 1982. Hal ini merujuk ke dasar hukum laut internasional yang mencakup sejumlah ketentuan seperti batas kelautan, pengendalian lingkungan, hingga penyelesaian sengketa kelautan.