Jabarekspres – Pencegahan terjadinya politik uang terus digencarkan. Salah satu upaya dari Bawaslu yakni meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan (IKP).
IKP tematik tersebut menyoal isu politik uang. Pihaknya melakukan sejumlah pemetaan wilayah yang dianggap rawan terjadi praktek curang itu.
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty mengungkapkan, praktek itu amat berbahaya. Pasalnya, bukan lagi perihal menang atau kalah, tapi menghancurkan mental atau akhlak warga negara.
Termasuk, lanjutnya, turut menghancurkan mental aktor negara alias para calon pemimpin di negeri ini.
“Karena politik uang ini mengancam, berbahaya, dan menjadi kejahatan maka bahaya politik uang harus tersampaikan kepada masyarakat,” ungkap Lolly, mengutip Disway, Sabtu (19/8).
“Bawaslu bergandengan tangan dengan berbagai kelompok kepentingan seperti kepolisian, kejaksaan, pemerintah (pusat dan daerah), dan masyarakat. Semua harus bergabung karena bahaya politik uang hanya bisa ditangani kalau kita kerja bersama-sama,” tambahnya.
Perempuan kelahiran Cianjur itu, menyebut, praktek tersebut bisa terjadi kapanpun. Entah pra masa kampanye, pascakampanye, maupun dilakukan secara daring (dalam jaringan).
Bisa juga, kata Lolly, politik uang terjadi dalam kegiatan sosial yang diwarnai politik luar dan program pemerintah.
Sementara, berdasarkan pemetaan kerawanan berdasarkan politik uang ini, terdapat lima provinsi paling rawan.
Pertama, Maluku Utara dengan skor 100. Kemudian, diikuti empat provinsi di bawahnya, yakni Lampung skor 55,56. Lalu Provinsi Jawa Barat skor 50, Banten skor 44,44, dan Sulawesi Utara dengan skor 38,89.
Namun, jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi praktek curang itu.
Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Maluku Utara.
Berkaca pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, menurutnya, modus politik uang terbagi dalam beberapa bentuk, yakni memberikan langsung; memberikan barang; dan memberikan janji.
“Modus memberi langsung itu salah satunya berupa pembagian uang, voucher atau uang digital dengan imbalan memilih (kepada salah satu peserta pemilu),” ungkapnya.
Dia pun menyebutkan pelaku yang biasa melakukan politik uang mulai dari kandidat, tim sukses/kampanye, aparatur sipil negara (ASN), penyelenggara ad hoc, dan simpatisan atau pendukung (peserta pemilu).