“Jangan sampai mencemari nama orang lain, harus punya adab, agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri,” imbuh Tedi.
Dia menyampaikan, penggunaan media sosial bagi para pelajar diharapkan agar tak sembarangan menerima dan mengunggah berita hoaks.
“Bijak bermedia sosial ini ibarat kita hidup di lingkungan sosial sehari-hari. Tetap harus punya adab dan etika, bedanya tidak tatap muka tapi menggunakan perangkat hp (gaway),” tukas Tedi.
Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Gender dan Anak Unpad, Antik Bintari berujar, pencegahan terhadap kasus perundungan, pelecehan seksual hingga kekerasan di lingkungan pendidikan, merupakan faktor utama untuk diedukasikan kepada peserta didik.
“Karena pencegahan tersebut berjangka panjang, maka sistem atau pola pembekalannya tak bisa instan yang diajarkan hari ini besoknya langsung jadi,” ujarnya.
Artinya kurikulum dari sekolah ramah anak, kurikulum metode pembelajaran anti bullying atau kekerasan, itu sudah ada dan sudah disampaikan secara berkala.
Antik menilai, terkait persoalan tersebut, guru-guru seharusnya bisa menyampaikan edukasi pencegahan secara rutin, karena itu kembali kepada pengajar.
“Bagaimana komitmen mereka sebagai tenaga pendidik dan kesetiaan mereka terhadap profesi guru,” paparnya.
Antik menuturkan, pada sistem pendidikan nasional di Indonesia, sudah ditekankan aturan serius oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim bahwa perundungan jadi salah satu hal yang tidak boleh terjadi.
“Tiga dosa besar dalam sisi pendidikan nasional di Indonesia yakni perundungan, intoleransi dan kekerasan seksual,” tuturnya.
Pesan yang selalu disampaikan Mendikbudristek atau akrab disapa Nadiem itu, menurut Antik harus betul-betul jadi fokus perhatian pemerintah serta para pengajar.
Perlunya kepedulian untuk lembaga pendidikan mulai dari paud sampai perguruan tinggi, supaya para peserta didik tak ada yang menjadi korban perundungan hingga kekerasan.
“Bagaimana memperlakukan sesama manusia yang baik, kemudian bagaimana cara menghargai. Itu mata pelajaran yang mana masuknya?,” katanya.
Secara substansi, pembelajaran etika dan moralitas di lembaga pendidikan nasional Indonesia menurutnya tergolong sangat kurang.
“Kalau itu tidak secara spesifik dalam bahan pengajaran, guru pada prinsipnya harus punya kewajiban untuk selalu memberikan pendidikan moral tersebut sebagai pencegahan perundungan,” pungkas Antik. (Bas)