Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Ditolak MK

JABAR EKSPRES – Sistem pemilu proporsional tertutup resmi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan ini, ada beberapa implikasi, salah satunya adalah pemilu 2024 tetap memilih calon legislatif (caleg).

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman.

Persidangan sistem pemilu proporsional tertutup ini dilaksanakan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat pada Kamis, 15 Juni 2023 siang. Sidang ini dilakukan hingga 16 kali secara terus menerus.

BACA JUGA: Uu Diusulkan Jadi Cawapres Ganjar, Ridwan Kamil Berikan Doa

Di luar area persidangan, ada 8 fraksi partai di DPR yang melakukan penolakan terhadap pengembalian sistem pemilu proporsional tertutup ini.

Sebelumnya, permohonan pengembalian sistem pemilu proporsional tertutup ini diusulkan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi (anggota NasDem), Ibnu Rachman Jaya (bacaleg Pemilu 2024 Jagaraksa), Riyanto (bacaleg Pemilu 2024 Pekalongan), dan Nono Marijono (bacaleg Pemilu 2024 Depok).

Permohonan pengembalian sistem pemilu proporsional tertutup ini tercatat dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Pemohon berharap MK agar dapat mengembalikan sistem ini.

BACA JUGA: Sudah 20 Tahun Dilarang, Ekspor Pasir Laut Diizinkan Kembali oleh Pemerintah

Berikut ada beberapa alasan yang disampaikan oleh pemohon untuk mengembalikan sistem pemilu proporsional tertutup.

  1. Parpol mempunyai fungsi sebagai penyaring dalam perekrutan calon anggota legislatif yang berkualitas dan memenuhi syarat. Oleh karena itu, parpol memiliki kewenangan dalam menentukan kader yang akan mereka utus di lembaga legislatif.
  2. Sistem pemilu proporsional tertutup ini dianggap sebagai konsep kedaulatan parpol. Dengan begini, parpol dapat melaksanakan amanah UU Parpol dalam melakukan perekrutan dan pengkaderan serta melaksanakan pendidikan politik dan demokratis. Cara ini dapat meningkatkan kualitas kader partai yang akan masuk ke lembaga legislatif.
  3. Parpol kehilangan esensi dari kepartaian mereka sendiri karena saat ini eksistensi seseorang lebih berpengaruh dibanding sistem kepartaian.
  4. Pemohon yang juga merupakan seorang pengurus partai menganggap sistem pemilu proporsional terbuka ini berbasis banyaknya suara yang diraup. Alhasil, banyak kepentingan pribadi atas nama popularitas tanpa ada ikatan ideologis, apalagi hierarki kepada parpol.
  5. Caleg pada sistem pemilu proporsional terbuka tidak memiliki ikatan struktural dan ideologi dengan parpol. Caleg ini pun dianggap tidak mempunyai pengalaman dalam mengelola parpol dan sejenisnya.
  6. Sistem pemilu proporsional terbuka akan membuat caleg hanya mewakili dirinya sendiri, bukan parpol secara organisasi. Oleh karena itu, otoritas parpol harus dikembalikan dalam memilih anggotanya ke lembaga legislatif.
  7. Sistem pemilu proporsional terbuka akan melahirkan politik yang liberal, dan juga persaingan bebas. Harusnya, persaingan ini hanya terjadi pada lingkup parpol saja, bukan antar individu dari parpol. Hal ini sebagaimana yang tertulis pada Pasal 22E ayat 3 UUD 1945.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan