Departemen Publik Affairs PT Djarum Elyta Handyani mengapresiasi para peserta Cultural Visit yang sangat antusias mengikuti kegiatan.
”Saya merasa sangat bangga karena Djarum salah satunya bisa tetap erat menjaga silaturahmi dan sama-sama membesarkan Djarum di Indonesia,” kata Elyta Handyani, saat ditemui usai memberikan materi kepada para peserta Cultural Visit, Senin (5/6).
Elyta juga mengaku bahagia karena tanggapan para peserta sangat positif. Apalagi ada beberapa di antara peserta yang belum pernah ke Kudus.
”Saat ke Kudus mereka sangat merasa amazing. Karena bisa melihat langsung bagaimana kondisi PT Djarum,” ujar Elyta.
Elyta menyatakan program Cultural Visit akan terus berlanjut, karena sebelumnya pun sudah sering dilaksanakan.
”Nanti dipastikan akan berkelanjutan dengan peserta dari daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia,” katanya.
Tak hanya itu, Elyta juga menyebutkan, Djarum bisa tetap eksis berdiri kokoh meski adanya terpaan ekonomi kurang baik seperti saat terjadi krisis moneter 1998 dan pandemi belum lama ini.
Namun hingga sekarang ini tiidak pernah ada pemutusan hubungan kerja yang terkait efisiensi. Terbukti salah satu pekerja di pabrik rokok Djarum, Mastik (36) mengaku sudah 20 tahun bekerja di bagian melinting rokok.
Perempuan warga asli Kudus itu tetap giat bekerja selama tujuh jam sehari mulai pagi hingga siang.
”Saya bekerja dari jam enam pagi sampai jam satu siang. Sehari saya bisa membuat 4 ribu batang,” katanya.
Sementra itu, sosok senior Djarum, Suharto yang dikenal sebagai Bapak Komunitas Indonesia menuturkan, pada awal November 2020 lalu, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) menyerahkan penghargaaan kepada Komunitas Indonesia Timur.
Pemberian penghargaan tersebut atas dedikasinya dalam program Donor Darah oleh Komunitas Terbanyak dan Donor Darah oleh Karang Taruna Terbanyak, di Jakarta Sabtu (7/11/2020).
Di hadapan para pimpinan dan pengasuh Pontren termasuk para ustadz, Suharto menyampaikan pentingnya nilai-nilai kejujuran. Ia berpesan agar semua peserta Cultural Visit itu mampu menjunjung tinggi sikap jujur.
”Karena mereka itu dari kalangan ustadz, bukan santri lagi. Mereka itu pimpinan atau panutan. Kalau panutannya sudah bohong, maka santrinya kaya apa?” jelas Suharto.