Resmi Tutup Semua Outlet, Ini Sejarah Toko Buku Gunung Agung yang Berawal dari Mencuri Rokok

JAKARTA – PT Gunung Agung Tiga Belas, perusahaan yang menaungi Toko Buku Gunung Agung, mengumumkan akan menutup semua toko atau outlet yang masih beroperasi pada tahun ini.

Keputusan ini diambil oleh manajemen karena perusahaan tidak mampu bertahan dengan kerugian operasional yang semakin besar.

“Dalam pelaksanaan penutupan toko/outlet, yang mana terjadi dalam kurun waktu 2020 sampai dengan 2023 kami melakukannya secara bertahap dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” demikian disampaikan oleh Direksi PT GA Tiga Belas dalam keterangan tertulis pada hari Minggu, 21 Mei 2023.

Toko Buku Gunung Agung sedang menjadi perhatian publik. Kabarnya, PT GA Tiga Belas sebagai pemiliknya telah melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak terhadap 350 karyawan.

Selain itu, manajemen juga berencana untuk melakukan efisiensi dengan menutup toko-toko yang masih beroperasi. Gunung Agung bukanlah toko buku baru. Toko ini telah berdiri sejak tahun 1953 dan menjadi pelopor toko buku modern di Indonesia.

Sejarah Toko Buku Gunung Agung

Melansir dari laman CNBC Indonesia, Pendirian Gunung Agung tidak lepas dari peran Tjio Wie Tay, seorang pria yang lahir di Batavia pada tanggal 8 September 1927.

BACA JUGA: Pernah jadi Tempat Prostitusi, Begini Sejarah Masjid Jakarta Islamic Center

Sang Ayah, Tjio Koan An bekerja sebagai teknisi listrik di perusahaan gas Belanda, sehingga kehidupan Tjio dan keluarganya relatif mapan. Namun, keadaan berubah setelah kematian ayahnya pada tahun 1931, saat Tjio Wie Tay masih berusia empat tahun.

Menurut Leo Suryadinata dalam bukunya “Southeast Asian Personalities of Chinese Descent” (2012), Poppy Nio, ibu dari Tjio dan tiga saudaranya, mulai bekerja keras untuk mencari nafkah setelah ditinggalkan oleh kepala keluarga mereka.

Ibu ini berusaha keras untuk menyekolahkan anak-anaknya, termasuk Tjio, agar mereka dapat masuk ke sekolah Belanda yang mahal. Upaya ibu ini akhirnya berhasil, dan Tjio dapat melanjutkan pendidikannya di Hollandsch-Chineesche School (HCS) di Bogor.

Kota ini dipilih karena pamannya tinggal di sana dan dapat mengawasi Tjio dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, harapan ibunya agar Tjio tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berperilaku baik ternyata tidak terwujud. Setelah masuk sekolah, Tjio menjadi nakal, sering bolos, dan terlibat dalam perkelahian.

Tinggalkan Balasan