Budi Dalton menegaskan, sebetulnya jika bicara terkait kebudayaan serta tradisi silaturahmi, yang berkurang bukan aktivitasnya, melainkan nilai dari silaturahminya.
”Nilai silaturahmi yang dimaksud adalah tatap muka. Artinya kalau konteks tatap muka lewat digitalisasi memang masih berjalan pakai aplikasi,” tegasnya.
Melalui informasi yang dihimpun Jabar Ekspres, jika melihat sejarah usai kemerdekaan Indonesia tepatnya pada 1948 lalu, saat pertengahan bulan Ramadhan, Presiden Soekarno pernah memanggil KH Wahab Chasbullah, salah satu tokoh penting Nahdlatul Ulama, ke Istana Negara.
Mengingat pada tahun tersebut, Indonesia diguncang pertikaian politik berujung pada konflik senjata, seperti karena pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Pada masa itu, Presiden Soekarno meminta saran dari KH Wahab Chasbullah, terkait bagaimana cara menguatkan integrasi bangsa Indonesia.
KH Wahab Chasbullah lantas menyarankan adanya acara silaturahmi, yang dilakukan ketika momen lebaran, dengan menggunakan istilah baru yakni halalbihalal.
Kemudian, pada saat Idul Fitri 1948 lalu, Presiden Soekarno mengundang para tokoh politik dalam acara halalbihalal sebagai bentuk wujud saling memaafkan, dengan tujuan untuk bersatu meningkatkan kerukunan dalam berbangsa.
Menurut Budi Dalton, dari adanya modernisasi dan berkembang pesatnya teknologi informasi, ada nilai-nilai budaya yang bisa jadi solusi, tanpa harus meninggalkan budaya atau tradisi lama.
”Silaturahmi tatap muka tadi, waktu-waktu bersama kita tumbuh di satu daerah itu sudah hilang. Walaupun tetangganya masih ada,” imbuhnya.
”Mungkin dengan adanya grup Whatsapp sudah merasa cukup bersilaturahmi. Jelas ada nilai yang hilang, tapi dengan akulturasi budaya, tentu ada nilai baru yang bisa diaplikasikan,” pungkas Budi Dalton. (bas)