JABAR EKSPRES – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah di masa akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2023.
Diantaranya adalah untuk mengejar target capaian indikator makro gini ratio. Dalam Perubahan RPJMD 2018-2023 itu dicanangkan target gini ratio hingga akhir 2023 bisa mencapai angka 0,396.
Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat pada Senin (16/1) mencatat gini ratio di Jabar per September 2022 masih di angka 0,412.
Angka itu juga sekaligus menunjukkan bahwa posisi Jabar masih lebih tinggi dari gini ratio nasional yang berada di angka 0,381.
Merespon hal tersebut, Sekretaris Komisi II DPRD Provinsi Jawa Barat Yunandar Eka Perwira mengungkap, gini ratio sendiri merupakan indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di suatu daerah.
Indikator ini akan menggambarkan sejauh mana pemerataan ekonomi di sebuah daerah.
Menurut politikus PDIP tersebut, target gini ratio di Jabar belum mencapai target yang diharapkan karena program belanja daerah masih lebih banyak dinikmati masyarakat di kalangan menengah hingga atas tapi belum banyak menyentuh kalangan masyarakat bawah.
“Jadi tidak merata,” katanya kepada Jabar Ekspres, Kamis 23 Maret 2023.
Yunandar mencontohkan, program dan capaian investasi di Jabar memang cukup bagus. Tetapi nampaknya investasi itu belum banyak menyentuh sektor yang padat karya.
Misalnya investasi di industri manufaktur seperti yang ada di wilayah Karawang atau Bekasi. Karena tuntutan digitalisasi, maka banyak tenaga kerja beralih menggunakan mesin-mesin industri. Bahkan tidak sedikit bahan baku produksi juga impor.
“Seperti numpang lewat saja. Kurang memberdayakan tenaga kerja lokal dan belanja produk lokal,” cetusnya.
Catatan berikutnya untuk menekan gini ratio adalah rencana belanja infrastruktur yang akan difokuskan pada tahun ini.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bakal memperbaiki 71 ruas jalan di Jawa Barat.
Menurut Yunandar, belanja infrastruktur ini juga tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat kalangan menengah kebawah.
Belanja infrasturktur akan lebih banyak mengalir kepada para kontraktor pemenang lelang yang kecenderungan juga dari kalangan masyarakat menengah atas.
Apalagi dalam proyek pembangunan atau perbaikan infrastruktur tidak banyak melibatkan tenaga kerja masyarakat bawah.