Jabar Ekspres – Perajin Keramik Kiaracondong yang dimiliki keluarga Dikdik masih tetap eksis di tengah perajin lainnya yang sudah gulung tikar.
Tidak sulit untuk menemukan lokasi kerajinan keramik yang sudah berdiri sejak 1991 itu. Yaitu tepat di depan Stasiun Kiaracondong.
Didin, pekerja di kerajinan keramik itu menceritakan, salah satu hal yang membuat kerajinan itu mampu bertahan adalah berhasil mengkonversi tungku pembakar.
Sebelumnya bahan bakar tunggu menggunakan minyak gas, karena minyak gas langka, sekarang bahan bakarnya pakai LPG. “Tungkunya beda, jadi kebanyakan perajin yang gulung tikar itu tidak punya tungku gas,” terangnya kepada Jabar Ekspres, Selasa (21/2).
Dalam sehari, kata dia, bisa habis hingga 15 tabung LPG. Itu untuk membakar ratusan keramik yang telah dibuat.
Didin menambahkan, di tempat kerjanya ada beragam jenis keramik yang dibuat setiap harinya. Mulai dari pot bunga, tempat duduk, hingga guci. “Sekarang yang banyak adalah pot bunga,” sebutnya.
Keramik hasil produksinya itu juga telah banyak beredar di sejumlah kota di Indonesia. Bahkan sudah sering kirim ke luar negeri.
Ada dua teknik pembuatan keramik. Yakni cetak dan manual. Masing – masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Biasanya keramik cetak akan lebih rapi dan tidak banyak menghasilkan pori – pori saat dibentuk. Namun ukurannya terbatas.
Sementara teknik manual cenderung lebih banyak pori-pori. Tetapi dari segi ukuran bisa lebih fleksibel.
Didin menjelaskan, kualitas keramik yang dihasilkan juga dipengaruhi dari bahan baku. Perajin biasanya mengkombinasikan tanah liat dan kaolin untuk menghasilkan keramik yang bagus. “Bahan baku dari Sukabumi dan Belitung,” pungkasnya. (mg4)