PERTANDINGAN ‘El-Classico’ antara Persib Bandung dan Persija Jakarta di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Senin (11/1) lalu, mungkin menjadi laga terakhir yang bisa ditonton secara langsung oleh seorang bobotoh berinisial A.
Yakni setelah dirinya diketahui sebagai satu dari dua bobotoh yang menyalakan suar (flare), pada saat laga besar tersebut berlangsung. A dijatuhi sanksi tegas dari Persib, larangan menonton ke stadion seumur hidup. Seluruh akses diblokir.
Sementara, akibat perbuatan dua bobotoh yang menyalakan flare itu. PT. Persib Bandung Bermartabat (PT. PBB) dikenai denda sebesar Rp120 juta oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI.
Suara-suara dukungan muncul, beberapa mengapresiasi sikap tegas tersebut. Namun beberapa yang lain, mempertanyakan. Beranggapan langkah yang diambil Persib Bandung terlalu keras.
Founder Frontline Boys Club, Angky mengatakan, Persib terlalu reaktif. Terlebih, usaha dari PT. PBB untuk mengantisipasi hal tersebut terjadi masih belum maksimal. Flare tetap menyala, sementara yang dilakukan sekadar imbauan belaka.
“Jadi, dirunut lagi, bukan cuma bobotoh. Tetapi panpel juga salah dong. Kenapa (flare) bisa lolos?” kata Anky saat dihubungi wartawan JabarEkpres.id, kemarin.
Kendati begitu, aksi menyalakan flare di stadion tetap tidak bisa dibenarkan. Namun kesediaan A untuk menghadap PT PBB, patut diapresiasi. Berani. Berbeda dengan sikap Persib saat tragedi kematian dua orang bobotoh, pada turnamen Piala Presiden tahun lalu.
“Kami salut dengan sikapnya A, tetap datang. Saya harap manajemen pun bisa mengakui juga, kalau pada saat itu (tragedi) ada kesalahan sistemik waktu meninggalnya bobotoh di GBLA,” tegasnya.
Galak ka Batur, Memble ka Sorangan
Ironi muncul. Sanksi untuk A yang notabene hanya menyalakan flare, dianggap kelewat keras. Bahkan sebelum dijatuhi larangan menonton ke stadion seumur hidup, Agi sebetulnya sudah dikenai sanksi sosial. Pembunuhan karakter.
Seperti wajahnya yang berseliweran di sejumlah linimasa media sosial, sampai mendapatkan cercaan dari warganet. Menurut pendiri Frontline Boys Club itu, sebetulnya, sanksi-sanksi sosial tersebut tidak perlu.