Besaran PTKP ini pun bervariasi tergantung dengan status perkawinan dan tanggungan wajib pajak orang pribadi tersebut. Bagi wajib pajak orang pribadi sendiri diberikan PTKP sebesar Rp54 juta. Jumlah tersebut akan ditambah sebesar Rp4,5 juta jika wajib pajak berstatus kawin dan/atau memiliki tanggungan keluarga sedarah atau semenda dalam satu garis keturunan yang lurus serta anak angkat. Jumlah tanggungan keluarga ini maksimal 3 orang.
Dari beberapa berita dan komentar yang beredar, adanya asumsi seolah-olah negara mengenakan pajak dari penghasilan bruto langsung dikalikan tarif PPh. Hal itu tidaklah tepat. Perubahan lapisan tarif terendah penghasilan kena pajak (Rp 0 sampai dengan Rp 60 juta sebesar 5 persen) justru menguntungkan masyarakat yang memiliki penghasilan menengah ke bawah.
Sebagai contoh, jika seorang karyawan memiliki penghasilan (gaji) sebesar Rp5 juta perbulan atau setahun Rp 60 juta, anggap saja biayanya Rp 0, dan status wajib pajak single tanpa tanggungan (PTKP-nya Rp54 juta), maka pajak yang dikenakan hanya atas penghasilan Rp 6 juta. Angka Rp 6 juta inilah yang dikalikan tarif PPh sebesar 5 persen. Sehingga diperoleh PPh per tahun sebesar Rp 300 ribu. Jika dihitung per bulan, maka Rp 300 ribu dibagi 12 bulan yaitu 25 ribu sebulan.
Dalam kondisi ini, baik sebelum maupun setelah UU HPP berlaku, pajak yang harus dibayarkan nilainya sama. Tidak ada perubahan apapun.
Jika penghasilan karyawan tersebut naik, misalnya, menjadi Rp 120 juta setahun dan PTKP–nya tetap (Rp 54 juta setahun), maka sebelum UU HPP berlaku, PPh yang harus dibayar sebesar Rp 4,9 juta. Setelah UU HPP, PPh yang harus dibayar justru turun menjadi Rp 3,9 juta. Bukankah ini lebih menguntungkan?