Sang suami pernah bekerja di koperasi Telkomsel. Kena PHK. Sejak itu Eka yang cari uang. Dia membuat camilan. Nawi mengantarkan barang dagangan itu ke toko-toko.
Eka bertemu Nawi 22 tahun lalu. Yakni saat orang tua Nawi pindah ke desa ini. Bertetangga. Lalu kawin. Punya anak tiga orang. Yang tertua kuliah di teknik kimia di Politeknik Malang.
Ayah Nawi seorang anggota Polri. Sudah meninggal.
Malam kejadian itu, Nawi tidak mengizinkan Eka ikut ke stadion. Tanpa alasan. “Biasanya saya ikut. Boncengan naik sepeda motor,” ujar Eka.
Hari itu Nawi berangkat ke Stadion Kanjuruhan bersama rombongan suporter dari Tegal, Jateng. “Mereka datang sehari sebelumnya. Tidur di rumah saya ini,” ujar Eka.
Berarti Eka nonton bola di TV?
“Tidak,” katanyi.
Mengapa tidak menonton?
“Malas. Katanya Arema kalah,” jawab Eka.
Menjelang pukul 00.00 Eka menelepon teman suaminyi yang ada di stadion. “Sam Nawi baik-baik saja. Ini ada di samping saya. Mau bicara?” jawab yang ditelepon. “Tidak. Ganggu ia saja. Ya sudah kalau baik-baik saja,” ujar Eka.
Tak lama kemudian ada orang datang ke rumahnyi: memberitahukan Nawi meninggal. Jenazahnya di rumah sakit. Eka langsung menuju rumah sakit di Kepanjen. Perjalanan lebih 30 km.
“Nama suami saya itu aslinya Iwan. Di Malang jadi Nawi –orang Ngalam memang biasa membalik apa saja.
Soleh, wartawan Tugumalang lainnya, mencoba ke Pakis Aji. Si penjual dawet tadi tinggal di Pakis Aji. Yakni satu kecamatan antara kota Malang dan Kepanjen.
Sampai di depan mulut jalan menuju rumah si penjual dawet, Soleh dicegat dua orang. Soleh, diminta untuk tidak meliput ke rumah itu. Demi keamanan.
Soleh sebenarnya ingin konfirmasi benarkah dia ketua PSI yang kini menjadi guru TK dan menjadi istri dari seorang suami penyandang disabilitas. Tapi Soleh tidak memaksakan diri demi keamanan banyak pihak.
Memang si penjual dawet masih menyisakan misteri: mengapa dia mengaku sebagai pemilik suara di audio yang viral itu. Bukankah kalau dia tidak mengaku tidak akan ada yang tahu?