JabarEkspres.com, BANDUNG – Penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) cukup membuat masyarakat menjadi resah.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dianggap memberatkan dan berpotensi menimbulkan dampak krisis ekonomi dalam jangka panjang.
Sales Brance Manager (SBM) Pertamina Rayon II Bandung, Andrew Wisnuwardhana mengatakan, naiknya harga Bahan Bakar Minyak terjadi karena berbagai faktor, salah satunya oleh invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina.
“Betul-betul berdampak secara global. Karena ternyata Rusia itu penghasil batu bara nomor tiga dunia, atau lima belas persen dari pengekspor batu bara di dunia,” kata Andrew beberapa waktu lalu.
Dia melanjutkan, sebagai negara eksportir yang cukup besar di dunia, Rusia diketahui menduduki urutan nomor 2 pengekspor minyak bumi atau 11,9 persen.
“Kemudian gas alam, Rusia ini nomor 4 dunia dengan peresentase sebesar 4,8 persen,” ujarnya.
Andrew mengaku, akibat invasi Rusia ke Ukraina dampaknya bisa pada sektor perekonomian dunia. Oleh karena itu, Indonesia turut terkena dampaknya.
Oleh sebab itu, mengingat saat ini harga baru BBM tengah menjadi sorotan, dia mengklaim bahwa Pertamina berupaya lakukan pengendalian dalam penyaluran Bahan Bakar Minyak subsidi.
“Perlu ada pengendalian BBM subsidi, karena disparitas harga BBM bersubsidi cukup besar,” ucapnya.
Andrew menerangkan, apabila dilakukan perbandingan antara harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi dengan yang nonsubsidi, perbedaannya cukup signifikan.
“Harga setiap satu liter BBM non-subsidi itu setara dengan dua setengah liter BBM subsidi, jadi perbedaannya cukup tinggi sehingga banyak yang lebih memilih BBM bersubsidi,” terangnya.
Andrew mengakui, sempat terjadi kebocoran dalam penyalurannya, alias tak sedikit masyarakat kelangan ekonomi menengah ke atas ikut menikmati Bahan Bakar Minyak subsidi.
“Kasus-kasus penyalahgunaan BBM bersubsidi, kemudian realisasi yang terjadi di Indonesia ini dimana kuota itu saat ini sudah lewat semuanya,” imbuhnya.
“Jadi penyaluran yang dilakukan untuk bio solar kemungkinan (subsidi) kuotanya akan habis di Oktober atau November (2022),” lanjut Andrew.
Dia menjelaskan, jika penyaluran BBM subsidi pembatasannya dilakukan menggunakan peran operator, kebocoran sangat rawan terjadi.
“Penyaluran BBM dan gas LPG subsidi tidak tepat sasaran itu betul, kita punya datanya 80 persen pengguna BBM subsidi tidak tepat sasaran,” jelasnya.