CICALENGKA – Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip Reduce, Reuse and Recycle (TPS 3R) Pamoyanan Indah di RW02, Desa Panenjoan, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung terancam bubar.
Hal ini karena minimnya perhatian dari pemerintah, yang tidak bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi dalam TPS 3 R.
Bebererapa permasalahan telah diinventarisir, dan sangat membutuhkan uluran tangan dari pemerintah agar TPS 3R tetap bisa berjalan dan bermanfaat untuk lingkungan.
Salah satu masalah krusial yang membuat TPS 3R terancam bubar adalah perihal sumber daya manusia (SDM).
Ketua TPS 3R Pamoyanan Indah, Dudu Abdul Kohar mengaku, awal pembentukannya jumlah anggota kepengurusan ada sebanyak 12 orang.
“Dibentuk dan diresmikan TPS 3R itu tahun 2021, awalnya diketuai pak RW02, karena enggak berjalan jadi saya ditunjuk buat nerusin,” kata Abdul kepada Jabar Ekspres, Senin (29/8).
Dia menerangkan, seiring berjalannya waktu para anggota pengurus TPS 3R itu mulai berkurang, hingga saat ini hanya tersisa 3 orang termasuk sang ketua.
“Sisanya pada enggak kuat, mungkin awal-awal dikira bakal dapat pemasukan dari sini, ternyata tidak jadi pada mundur dan kerja pabrikan,” terangnya.
Abdul mengatakan, untuk mengelola sampah sejak dia menjadi ketua selama 8 bulan terakhir tergolong sulit, sebab biaya pengangkutan yang terlalu besar.
“Satu kali pengangkutan oleh DLH (Dinas Lingkungan Hidup) itu kita harus bayar Rp500 ribu,” ujarnya.
Menurutnya, biaya tersebut tidak sesuai dengan uang iuran warga per Kepala Keluarga (KK) sebesar Rp15 ribu setiap bulannya.
Diketahui, warga yang turut membayar iuran itu sebanyak 271 KK, sehingga untuk biaya operasional termasuk upah para pengurus TPS 3R tidak mencukupi.
“Sekarang siapa yang mau dibayar per bulannya itu Rp500 sampai Rp600 ribu, makanya anggota pada keluar karena sulit juga harus mengandalkan upah dari sini,” ucapnya.
Para pengurus TPS 3R itu sampai sekarang masih tetap mengumpulkan sampah warga, supaya tidak dibuang ke sungai Citarik.
Akan tetapi, pemasukan ekonomi dengan bobot kerja serta biaya pengangkutan yang besar, membuat para pejuang lingkungan itu seakan terlunta-lunta dan hidup bertaruh garis takdir.