Jamaah khutbah Jumat rahimakumullah,
Tentu setiap dari kita ingin menjadi manusia yang merdeka dengan seutuhnya. Hidup tanpa ketergantungan terhadap sesuatu. Hidup aman dan bebas dari penghambaan dan penjajahan. Setiap orang berani untuk membeli dengan harga mahal untuk kemerdekaan yang hakiki itu. Karena jika tidak merdeka, berarti setiap saat siap untuk disiksa, dilucuti, dibentak-bentak, diusir, dihina, diserobot, didiskriminasi, atau bahkan dibunuh.
Akan tetapi, ironisnya banyak orang belum mengetahui apa itu kemerdekaan yang hakiki. Mereka belum bisa membedakan antara kemerdekaan hakiki dan keterpurukan. Ketika kita tidak mengetahui apa itu kemerdekaan hakiki, tentu kita akan terperosok ke dalam kemerdekaan semu. Sehingga acuh tak acuh dan tidak berusaha meraih kemerdekaan hakiki. Atau bahkan mengganti kemerdekaan hakiki yang telah didapatkan dengan keterpurukan dan kehinaan.
Jamaah khutbah Jumat rahimakumullah,
Merdeka dalam Islam dimaknai dengan sikap ketundukan dan kepatuhan. Merdeka adalah penghambaan mutlak kepada Dzat yang berhak untuk disembah, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merdeka adalah terbebas dari segala belenggu penjajahan sesama manusia dan keluar dari keterpurukan hidup di dunia. Ketika seorang muslim terbebas dari penghambaan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tunduk serta patuh kepada aturan dan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, di sanalah muncul kemerdekaan sejati dan hakiki.
Kemerdekaan inilah tujuan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke muka bumi. Juga tujuan dakwah para sahabat dan kaum mukminin yang mengikuti jalan Beliau. Ketika peristiwa pertempuran Qadisiyyah terjadi, yaitu pertempuran antara kaum muslimin dengan bangsa Persia. Panglima kaum muslimin saat itu yaitu Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, mengutus salah satu prajuritnya Rib’i Bin ‘Amir untuk menghadap Panglima Persia yaitu Rustum.
Dalam pertemuan tersebut, Rustum bertanya kepada Rib’i, Apa tujuan pasukan kaum muslimin datang menuju Persia? Mengapa mereka datang ke Persia? Maka dengan lantang Rib’i menjawab dengan kalimat yang dicatat dengan tinta emas oleh sejarah. Kalimat itu dinukil dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah dan buku-buku yang lainnya. Rib’i berkata,