Forum Dago Elos Melawan dan LBH Bandung Sesalkan Putusan PK

BANDUNG Dua tahun lalu, warga Dago Elos bisa bernafas lega. Sengketa lahan seluas 6,3 hektar di Dago Elos, antara mereka dengan keluarga Muller terselesaikan. Yakni, diselesaikan dengan sebuah kemenangan warga atas putusan kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019.

Hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa eigondom vervoding atas nama ‘George Henrik Muller’ sudah berakhir lantaran paling lambat pengajuan konversi pada 24 September 1980.

Sebelumnya, pada 2016 silam, 3 orang ahli waris dari keluarga Muller yaitu Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller melayangkan gugatan kepada warga Dago Elos.

Ketiganya mengaku sebagai keturunan George Hendrik Muller, seorang warga Jerman yang pernah tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda.

Mereka yang kini sudah menjadi warga negara Indonesia, mengklaim tanah seluas 6,3 hektar di Dago Elos sudah diwariskan kepada mereka.

Tanah itu diklaim berasal dari Eigendom Verponding atau hak milik dalam produk hukum pertanahan kolonial Belanda. Sertifikat tanah itu dikeluarkan oleh Kerajaan Belanda pada 1934.

Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Abdul Muit Pelu mengungkapkan, berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 109/PK/Pdt/2022, Heri Hermawan Muller cs malah ditetapkan berhak atas kepemilikan lahan.

“Sungguh kontras terlihat perbedaan antara Putusan Peninjauan Kembali dengan putusan Kasasi sebelumnya,” ucapnya dalam Konferensi Pers #DAGOMELAWAN di Balai RW Dago Elos, Kota Bandung, Selasa (14/6).

Dalam putusan kasasi yang menolak gugatan Heri Muller Cs dirasa mengambang dan tidak tegas. Berbeda dengan Putusan Penijauan (PK) yang menerima gugatan Heri Muller cs.

“Semua jelas dan tegas bahkan hingga putusan tersebut lengkap terhadap perintah mengakui kepemilikan meliputi perintah sertifikasi terhadap objek tanah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741 dan 3742,” katanya.

“Sungguh dengan adanya Putusan PK tersebut sangat menampar warga Dago Elos yang telah menduduki di atas lahan yang mereka tempati untuk tinggal,” tambahnya.

Putusan PK ini lantas dinilai menutup upaya warga untuk mempertahankan ruang hidup dan menjalankan reformasi agraria sejati. (zar)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan