Kendati demikian, bebernya, pusat masih menyediakan banyak bantuan seperti PKH, BNPT, KIP (Kartu Indonesia Pintar), dan KIS (Kartu Indonesia Sehat). “Bantuan itu masih berjalan, khususnya kesehatan, bahkan kita mencoba supaya beban daerah tidak terlalu besar dalam memberikan bantuan sosial,” jelasnya.
Dari berbagai bantuan pusat yang terus berjalan, ujar Tyo, peran pihaknya adalah mencoba untuk mengusulkan masyarakat yang belum menerima bantuan sosial yang ada dalam data DTKS agar mendapatkan bantuan lain seperti PKH, yang memiliki bantuan bersyarat.
“Bersyaratnya dari unsur pendidikan, kesehatan atau sosial. Untuk pendidikan, kalau ada yang usia sekolah tidak bisa bersekolah itu bisa masuk PKH, lalu dari sisi kesehatan ada ibu hamil atau ada bayi balita, itu bisa masuk PKH, dari sisi sosial jika dalam sebuah keluarga terdapat lanjut usia di atas 60 tahun atau penyandang disabilitas maka keluarga tersebut bisa mendapatkan bantuan PKH,” imbuhnya
Selebihnya, jika masyarakat miskin tetapi tidak bisa memenuhi persyaratan. Bantuan akan difokuskan kepada Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). “Paling diarahkan kesitu. Jadi masih ada cara-cara lain gak harus tergantung sama PKH,” terangnya.
Program sembako (BPNT) yang berjalan setiap tahun berasal dari pembiayaan pusat, begitu pula penentuan data masyarakat miskin. “Kita tidak bisa protes, kita hanya mengusulkan, misalkan saya mengusulkan 1.000 (jiwa) taunya yang mendapatkan bantuan cuman 800 (jiwa), ya kita gak bisa marah-marah karena itu pusat yang menentukan,” akunya.
Ia menyayangkan masyarakat yang terkadang tidak paham akan upaya yang telah dilakukan Dinas Sosial. “Dikiranya kita tidak berupaya. Kita itu tiap bulan mengusulkan terus. Disini kita ada historinya, kapan saya mengusulkan, berapa banyak yang diusulkan, itu ada semua,” kata Tyo.
Terkait pertumbuhan ekonomi saat ini, ucapnya, tidak serta merta akan menutup defisit anggaran dalam RAPBD (Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). “Dari pertumbuhan ekonomi tidak serta merta langsung simsalabim bisa menutup defisit anggaran,” ungkapnya
“RAPBD itu dilihat dari asumsi pendapatan kita dulu berapa, lalu belanjanya berapa. Jangan jadi besar pasak dari pada tiang juga, akhirnya terjadi defisit terus. Nah itulah mungkin akhirnya setiap kegiatan pun ada pembatasan-pembatasan,” tandasnya. (mg1)