Pertumbuhan rasa ingin tahu tersebut muncul secara organik karena kita telah begitu familiar dengan oleh-oleh cerita horror sepulang KKN maupun konsep desa sebagai tempat yang mistis dan terbelakang –yang jamak di gambarkan oleh budaya populer kita sedari lama.
Ketidaktahuan soal desa mengerucut ke kesan ”seram” dan ”ngeri” yang telah ada dalam memori kolektif. Dan ketidakpastian yang di bangkitkan dari keduanya membuat cerita soal desa dan seisinya jadi terdengar, sekaligus terlihat, begitu jahat.
Bagaimana atmosfer ini di bangun? Sama seperti subjek yang serbasamar dalam cerita, demikian juga gambaran desa tersebut saat ia di hidupkan oleh pencerita. Suasana itu di sulam menjadi satu momen penuh kegamangan:
”Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, di mana sunyi dan sepi di temui, di sana, rahasia di jaga rapat-rapat. Kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah desa, jauh di dalam hutan.”
Film KKN di Desa Penari secara konsisten mengukuhkan gambaran soal kemisteriusan desa ini. Lebih jauh, adaptasi film justru melakukan hal paling tabu dalam memperlakukan horror, yaitu menutup rasa penasaran dengan menjawab berbagai spekulasi dalam cerita dengan sangat gamblang.
Beberapa premis yang lebih bersifat terbuka dalam thread Twitter di sambung sedemikian rupa agar sebab-akibat serta pesan moralnya tampak lebih terhubung. Seperti bagaimana relasi Bima dan Ayu, yang sebelumnya murni di dorong nafsu, jadi seolah di bebankan hanya ke pihak Ayu lewat ”jebakan” makhluk halus.
Beberapa formula lain yang seolah tak bisa lepas dari gambaran desa dalam layar sinema kita (bahkan sejak era Orde Baru) pun tak luput di bubuhkan. Seperti ajaran Islam yang di hadirkan sebagai antitesis kemerosotan moral atau sekumpulan warga desa yang tidak ramah. Dua hal yang sejatinya absen di kisahan awal dalam thread Twitter.
Dengan cara-cara seperti ini, desa semakin terpisah saat penonton di jauhkan darinya; ia punya penghuni dan cara hidup yang bisa jadi berbeda memang, namun pengasinganlah yang menciptakan keganjilan dan kengerian dalam penggambaran serta pemahaman tentangnya. Hal yang kemudian bisa kita terima maupun perdebatkan, entah sebagai kebenaran atau mitos belaka.