“Daripada bertani atau berjualan es, menurut saya lebih baik berkarya membuat kerajinan karena hasilnya lebih menguntungkan dan ada kebanggaan,” tutur Endang dengan rokok kereteknya yang sudah setengah batang.
“Saya ikhlas membagikan ilmu yang saya punya kepada warga supaya mereka secara ekonomi ada peningkatan. Rumah, motor dan tanah yang saya punya dan warga-warga sini punya itu hasil dari bambu,” tambahnya.
Menurut Endang, dalam hidup yang harus dimiliki adalah ilmu, sebab baginya memiliki keilmuan sebanyak apapun tidak akan berat untuk dibawa.
Pemberdayaan hingga peningkatan ekonomi warga di RW09 dan RW11 Desa Babakan Peuteuy dibangun oleh Endang, namun disayangkan sampai saat ini para pelaku kerajinan tangan olahan bambu di Cicalengka semakin menyusut.
“Pas mulai pandemi (Covid-19) langsung terdampak, pesenan sepi, penjualan berkurang. Saung Udjo yang biasa manampung hasil karya kerajinan juga ikut sepi,” ucap Endang dengan suara yang sedikit lesu.
“Yang saya sayangkan itu Pemerintahan Desa (Babakan Peuteuy) justru tidak bangga dengan kami, pengrajin bambu. Saya memberdayakan sebanyak 2 RW tidak pernah ada dukungan, padahal karya-karya kita dibanggakan orang luar. Di Jakarta, Bali, Batam bahkan sampai luar negeri,” lanjutnya.
Endang berujar, karya-karya seninya itu disamping mempunyai keunikan, selama proses pembuatan dilakukan dengan sangat teliti dan menanamkan perasaan di dalamnya.
“Karena semua juga pakai rasa, supaya bisa dirasakan juga oleh penikmat dan orang yang melihat hasil karya kita,” kata Endang.
Potensi pada bidang kesenian di Desa Babakan Peuteuy tergolong hebat, sebab beberapa hasil karya seni kerajinan tangan dari bambu oleh warga sempat menjadi pionir salah satunya membuat sedotan dari bambu yang bisa digunakan berulang kali.
Sementara itu, tak adanya perhatian dan dukungan dari pihak Desa Babakan Peuteuy baik pemasaan atau mewadahi para pelaku kerajinan tangan olahan bambu supaya tetap bertahan dan dikenal hingga luar daerah menjadi sebuah keprihatinan.