JAKARTA – Aliansi mahasiswa dari berbagai kampus di Jabodetabek kembali turun ke jalan kemarin (21/4). Demonstrasi bertajuk aksi 21 April itu dilakukan sebagai respons atas berbagai persoalan yang muncul. Selain untuk memberikan kritik kepada pemerintah, aksi tersebut bertujuan untuk menyampaikan beberapa tuntutan.
Total ada tujuh tuntutan yang disampaikan. Antara lain tindak tegas para penjahat konstitusi dan tolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden, turunkan harga kebutuhan pokok dan atasi ketimpangan ekonomi, serta hentikan segala tindakan represif terhadap masyarakat sipil dengan mekanisme yang ketat dan tidak diskriminatif.
Kemudian, mereka menuntut wujudkan pendidikan ilmiah, gratis, dan demokratis; sahkan RUU yang pro rakyat dan tolak RUU pro oligarki; wujudkan reforma agraria sejati; serta tuntaskan penindakan seluruh pelanggaran HAM.
Sementara itu, aktivis hukum dan hak asasi manusia (HAM) Asfinawati meminta aparat penegak hukum segera mengusut tindakan peretasan akun media sosial (medsos) sejumlah mahasiswa dan masyarakat sipil. Salah satunya pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti.
”Harus diusut, ini bukan delik aduan,” tegasnya. Bivitri mengalami peretasan pada Rabu (20/4) lalu.
WhatsApp pakar hukum tata negara itu diretas pihak tidak bertanggung jawab. Begitu pula akun Instagram milik Bivitri.
Bahkan, Instagram Bivitri sempat diambil alih dan mengunggah kiriman palsu. Pembajakan akun itu terjadi bersamaan dengan peretasan yang dialami sejumlah mahasiswa.
Asfin (sapaan Asfinawati) mengungkapkan, selama ini pelaku pembajakan akun medsos itu tidak pernah diusut. Apalagi ditangkap. Padahal, perbuatan peretasan sudah jelas melanggar hukum.
”Kalau dilihat dari target, pelaku menyasar orang-orang yang sedang atau setelah merespons sebuah isu. Jelas ini menyasar orang yang kritis kepada kebijakan ngawur pemerintah atau negara,” paparnya.
Pola peretasan tersebut hampir sama dengan yang dialami pada 2019 dan 2020. Saat itu para aktivis meng kritik kebijakan pemerintah terkait revisi UU KPK dan Omnibus Law.
”Polanya (peretasan, Red) berulang sejak 2019,” imbuh mantan ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu. (jawapos-red)