BANDUNG – Badan Kebudayaan Nasional (BKN) PDI Perjuangan Jawa Barat menggelar Pagelaran Virtual Wayang Golek Rampak Dalang Putra Giri Harja “Semar Lakon” yang digelar secara hybrid, Sabtu (26/2) malam.
Karya itu dipentaskan oleh dalang Dadan Sunandar Sunarya, Yogaswara Sunandar dan Bhatara Sena Sunarya, hiburan dari Ade Batak dan Jenong serta ditayangkan melalui akun resmi Youtube @bknppdiperjuangan.
Acara ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian HUT PDI Perjuangan ke-49.
“Alhamdulillah pagelaran wayang yang digelar PDI Perjuangan Jawa Barat ini mendapat antusias masyarakat yang cukup tinggi. Saat ditayangkan di youtube channel penontonnya mencapai 58.864,” kata Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat Ono Surono, Senin (28/2).
Sebelum membahas lebih jauh soal wayang, Ono mengungkapkan bahwa Indonesia sebagai negara bangsa (nation state) lahir dan berdiri berkat nasionalisme.
Sebelum berdiri formal pada tahun 1945, Indonesia belum ada.
Saat itu yang ada adalah bangsa-bangsa yang mempunyai corak budayanya masing-masing. “Ketika Indonesia tegak berdiri, bangsa – bangsa yang ada bermetamorfosis menjadi suku-suku bangsa,” katanya.
Menurutnya, sangat jelas bahwa Indonesia merupakan kesatuan kultural, gabungan suku-suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing.
Ternyata, imbuh Ono, nasionalisme itulah yang memersatukan berbagai suku bangsa menjadi satu bangsa.
Maka sesungguhnya nasionalisme Indonesia seperti kata Bung karno adalah nasionalisme yang berakar pada budaya-budaya daerah dan budaya-budaya suku bangsanya.
“Sifat keberagaman ini sepantasnya tetap terjaga, eksis bersama, tumbuh kembang bersama pula. Lenyapnya atau tertekannya satu unsur budaya tertentu akan menyebabkan sakitnya kebudayaan dan peradaban kita sebagai satu keutuhan, sebagai satu bangsa. Bhinneka ngajadi eka, ngadegna Pancasila anu jadi dasar nagara,” ujar anggota Komisi IV DPR RI ini.
Ono mengungkapkan, wayang merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang yang memiliki arti kata bayang, yang artinya sesungguhnya adalah bayangan atau penerawangan untuk masa yang akan datang.
Wayang dipandang sebagai suatu bahasa simbol dari hidup dan kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada lahiriah.
Orang melihat wayang seperti halnya melihat kaca rias.
Jika orang melihat pagelaran wayang, yang dilihat bukan wayangnya melainkan masalah yang tersirat di dalam lakon wayang itu, yaitu diri kita