JAKARTA – Penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang mulai dilaksanakan sejak 9 Maret 2020, sebagai salah satu jalan untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan ditengah pandemi Covid-19, ternyata juga menimbulkan berbagai dampak negatif.
Dunia pendidikan harus melakukan adaptasi secara ekstrem karena terpengaruh pandemi tersebut. Kebijakan yang diambil tidak selamanya bisa menjadi pemecah masalah bagi peserta didik.
Di Indonesia, pemerintah menerapkan belajar dari rumah (BDR) untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), baik daring maupun luring. Berbagai rintangan pun dihadapi dalam pelaksanaan PJJ, seperti akses jaringan dan gawai serta ketersediaan kuota. Hal itu pun menyebabkan penerapan PJJ ini memakan korban jiwa.
Anak SD Dibunuh Ibu Kandung Akibat Tak Paham Materi Belajar
Pada pertengahan September 2020, seorang anak yang duduk di bangku kelas 1 SD dibunuh oleh orang tua kandung karena sang anak susah memahami pelajaran saat sedang sekolah online, ibu kandung berinisial LH sebagai pelaku pembunuhan dan ayah korban berinisial IS yang membantu menguburkan korban.
LH dan IS mengakui telah menganiaya korban hingga meninggal karena kesal korban sulit diajari belajar online. Penganiayaan yang dilakukan LH kepada sang anak rupanya bukan kali itu saja.
Ibu korban menganiaya korban dengan mencubit dan memukul dengan menggunakan gagang sapu sampai anaknya jatuh ke lantai hingga meninggal dunia. Penyidik juga menemukan file foto-foto korban di ponsel pelaku dengan kondisi korban lebam mata dan bengkak mulut.
Siswi Bunuh Diri Akibat Tugas Menumpuk
Siswi SMA dari Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan berinisial MI dilaporkan tewas bunuh diri pada 17 Oktober lalu akibat tugas yang menumpuk dari sekolahnya. Korban kerap bercerita pada teman-temannya perihal sulitnya akses internet di kampungnya yang menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.
Siswa SMP Asal Tarakan Bunuh Diri
Salah satu siswa SMP di Tarakan, Kalimantan Utara mengalami depresi yang berujung bunuh diri akibat PJJ. Pemicu korban bunuh diri adalah banyaknya tugas sekolah daring yang menumpuk yang belum dikerjakan korban sejak tahun ajaran baru.
Parahnya lagi, pihak sekolah mengirim surat yang isinya menyampaikan bahwa anak korban memiliki sejumlah tagihan tugas dari 11 mata pelajaran. Rata-rata jumlah tagihan tugas yang belum dikerjakan anak korban adalah 3-5 tugas per mata pelajaran. Anak tersebut pun semakin stres, karena khawatir tidak bisa mengikuti ujian akhir semester. (*)