GARUT – Sengketa mengenai pembongkaran gembok kios pedagang di Pasar Limbangan Garut mulai masuk keranah hukum, belasan pedagang rabu (22/12) mendatangi Mapolsek Limbangan untuk memenuhi panggilan penyidik.
Belasan pedagang tersebut didampingi kuasa hukumnya, Rahmat Permana. Mereka diperiksa terkait dugaan pengrusakan pada kios pedagang di Pasar Modern (Pasmo) Limbangan.
“Betul bahwa hari ini ada pemanggilan kepada delapan orang pedagang atas laporan pengrusakan gembok roling door oleh pihak yang mengatasnamakan PT Elva Primandiri bernama Nurjaji, namun setelah berdialog secara seksama antara penyidik, IWAPPA Pasmo Limbangan dan para terlapor, pihak penyidik akhirnya memutuskan untuk memeriksa perwakilan terlapor sebanyak tiga orang saja,” ungkapnya, kemarin.
Ketua dan Sekretaris IWAPPA Pasmo Limbangan Aceng Warsa dan Cep Totoh yang diperiksa penyidik menerangkan, bahwa pihaknya selaku pimpinan satu-satunya organisasi para pedagang di lingkungan Pasmo Limbangan, telah menghubungi Direktur PT Elva Primandiri.
Pihaknya sudah mendapat keterangan langsung dari Direktur PT Elva Primandiri melalui tembusan surat elektronik. Justru jawaban pihak PT Elva Primandiri tidak memiliki karyawan yang bernama Nurjaji dan tidak pernah menyuruh atau menugaskan siapapun untuk melaporkan para pedagang.
“Kami yakin bahwa ini bukan perintah Direktur PT Elva Primandiri karena kami telah mendapat tembusan surat elektronik dari Direktur PT. Elva Primandiri tentang klarifikasi dari masalah ini, dan kami yakin ini adalah ulah oknum petugas pengelola yang sengaja meng- kriminalisasi para pedagang agar menjadi ketakutan dan gelisah yang pada akhirnya mau tunduk kepada kesewenang-wenangan oknum tersebut,” papar Totoh.
Salah seorang pedagang di Pasmo Limbangan, Jajang memberikan penjelasan terkait masalah yang berujung pemanggilan oleh pihak Kepolisian tersebut.
“Awalnya begini, kami sekitar 51 orang pedagang dipaksa untuk merubah jenis dagangan yang sudah kami jalani selama belasan bahkan puluhan tahun dengan jenis dagangan baru sesuai kehendak kelompok oknum pengelola dengan istilah zonasi, dan sekitar dua bulan lalu kami diharuskan menandatangani pernyataan di atas materai untuk menyetujuinya dengan ancaman bahwa kalau kami menolak akan dipidanakan karena melanggar undang-undang,” papar Jajang.