JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, keberadaan undang-undang Cipta kerja memiliki tujuan untuk perluasan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Airlangga Hartarto, di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo UU Cipta kerja sudah menjadi bagian reformasi structural, deregulasi dan debirokrasi.
Ada tiga hal yang diberi apresiasi oleh masyarakat dan lembaga internasional dalam Indonesia menangani Covid-19 yaitu terkait dengan kebijakan fiskal, kebijakan moneter, reformasi struktural.
‘’Salah satunya adalah melalui UU Cipta Kerja dan Online Single Submission (OSS),” ujar Menko Airlangga Hartarto dalam keterangannya, Selasa, (14/12).
Pada saat UU Cipta Kerja disusun, terdapat banyak regulasi dengan jumlah 43.604 peraturan. Aturan ini terdiri dari peraturan tingkat pusat dan peraturan tingkat daerah.
Obesitas regulasi menyebabkan inefisiensi birokrasi. Hal ini, menjadi faktor utama masalah dalam berusaha di Indonesia.
Pemerintah bersama dengan stakeholder terkait saat ini telah mengubah birokrasi perizinan agar lebih efisien dan praktis. Dengan begitu, harapannya investasi yang dating ke daerah dapat dipermudah.
‘’UU Cipta Kerja yang telah mengubah secara fundamental konsepsi perizinan berusaha yang semula berbasiskan izin (license approach) ke berbasis risiko (risk based approach) dengan pengawasan yang konsisten oleh Pemerintah,’’papar Airlangga Hartarto.
Namun demikian setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah akan segera melakukan penyusunan melalui revisi. Namun, operasionalisasi UU Cipta Kerja tetap sejalan.
‘’Putusan Mahkamah Konsititusi Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku dan dengan demikian, maka seluruh materi dan substansi serta peraturan pelaksanaan Cipta Kerja masih tetap berlaku baik di pusat maupun di daerah,’’kata dia.
Dalam PP 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko memberikan kemudahan perizinan berusaha untuk setidaknya 1.349 kegiatan usaha.
Setiap kegiatan usaha tersebut dilakukan analisa risiko dengan mengacu pada risiko kesehatan, keselamatan kerja, dan lingkungan. Bahkan, pertimbangan skala usaha menjadi pertimbangan yang menghasilkan sejumlah 2.165 tingkat risiko.
‘’Dari 2.165 tingkat risiko tersebut, tercatat risiko rendah sebanyak 32.3%, risiko menengah rendah sebanyak 19.8%, sedangkan risiko menengah tinggi sejumlah 26.8%, dan risiko tinggi sebanyak 21.1%,’’kata Airlangga Hartarto.