JAKARTA – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengungkapkan kasus pencabulan dan pemerkosaan di sekolah agama bukan pertama kali terjadi.
Dalam catatan P2G, kasus kekerasan seksual yang mencuat menjadi perbincangan publik di media pada tahun ini terjadi di satuan pendidikan agama baik status formal maupun nonformal.
P2G mencatat kasus tersebut terjadi di 27 kota/kabupaten, yaitu Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jatim); Kubu Raya (Kalbar); Lebak dan Tangerang (Banten).
Selanjutnya di Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh), Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel), Bintan (Kepri), Tenggamus, dan Way Kanan.
Selain itu, kasus serupa juga pernah terjadi di Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung), Pinrang (Sulsel), Balikpapan (Kaltim), Kotawaringin Barat, Jembrana (Bali), Cianjur dan Garut (Jabar).
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri mengungkapkan data 27 kabupaten/kota tersebut, belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar sekolah agama formal.
“Seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate,” kata Iman, Minggu (12/12).
Iman menyebutkan rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun.
Bahkan, ada yang usia 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana.
Umumnya kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun.
“Bahkan, untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak sampai 34 santriwati,” ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan.
Santri laki-laki, seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir.
“Sebenarnya masih banyak kasus pemerkosaan dan pencabulan di sekolah agama. Bukan cuma yang menimpa 12 santri di Kota Bandung,” pungkasnya. (jpnn-red)