Perda RTRW Jabar dapat “Pukulan Keras” dari Adanya UU Cipta Kerja

Beberapa poin yang menjadi pertanyaan jika harus menyesuaikan lagi Raperda tentang Revisi RTRW Provinsi Jabar di antaranya nasib Segitiga Rebana yang sudah dijadikan PSN.

Kemudian bagaimana juga nasib BIJB Kertajati, termasuk Kertajati Aerocity mengingat Pemerintah Pusat meneguhkan kewenangannya tentang kebandarudaraan. Lantas bagaimana pula nasib 1.040 hektare lahan yang dibebaskan dengan biaya full APBD Provinsi Jabar?

Kalau toh BIJB Kertajati diambil alih Pusat, mungkinkah 1.040 hektare itu dikonversi menjadi saham Pemprov Jabar pada Pengelolaan Bandara yang dikerjasamakan dengan PT Angkasa Pura II?

Sebab, sejauh ini, pembangunan bandara baru di provinsi lain tidak satu pun pembebasan lahannya menggunakan dana APBD.

Andai BIJB Kertajati akan secara utuh diambil alih Pusat, maka Jabar seharusnya berhak tahu time schedule perencanaan pembangunan bandara di Kabupaten Majalengka itu.

Semua tahu bahwa bandara Kertajati diharapkan menjadi pintu keluar masuk langsung dari dan ke Jabar.

Dengan demikan, BIJB Kertajati diharapkan menjadi salah satu pengungkit roda perekonomian Jawa Barat.

Bagaimana pula nasib Bandara Nusawiru? Bandara itu satu-satunya bandara yang dibiayai full dari APBD provinsi.

Bagaimana korelasinya dalam Perda RTRW nanti, karena dalam UU 23/2014 hanya ada tanda hubung di sana? Apa yang akan dilakukan Jabar terkait hal itu? Bagaimana nasib bandara baru di  Kabupaten Karawang dan Kabupaten Sukabumi?

Dengan ditetapkannya Patimban sebagai PSN, kawasan tersebut pasti membutuhkan rencana pola ruang yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pengembangannya. Misalnya, dukungan tol Parabon (Patimban-Indramayu-Cirebon) sepanjang pesisir utara.

Secara keseluruhan, pada intinya, penggabungan perda RTRW lama (Perda 22 Tahun 2010) dengan RZWP3K itu bukan hal yang mudah.

Dinas BMPR sebagai OPD pengampu benar-benar harus bekerja ekstra keras memenuhi semua aturan Pemerintah Pusat.

Harus dipikirkan juga bagaimana nasib Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang juga  ditetapkan dalam RTRW Nasional.

Apakah lantas menggugurkan kewajiban Provinsi di sana karena hanya Pusat Kegiatan  Lokal (PKL) saja yang ditetapkan dalam RTRW provinsi?

Mengingat begitu banyaknya materi yang harus disesuaikan dengan berbagai aturan, baik peraturan pemerintah (PP) maupun pedoman yang ada, raperda RTRW statusnya menjadi raperda baru.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan