Adapun peran teknologi nuklir dalam uji praklinis kata Hendris, antibodi dari kuning telur ditandai dengan senyawa radioaktif (I-131) yang sering disebut dengan radiolabeling. Setelah diberi label dengan senyawa radioaktif lalu diujicobakan pada hewan percobaan dan selanjutnya dilakukan pengujian.
“IgY yang dilabeli kemudian diberikan kepada hewan percobaan, kemudian dilakukan pengujian dengan mengambil organ dari hewan tersebut dan diteliti untuk melihat seberapa besar antibodi tersebut menyebar di setiap organ,” lanjutnya.
Hasilnya ujar Hendris, menunjukkan bahwa IgY secara positif mampu terakumulasi pada organ-organ vital yang menjadi tempat penempelan virus SARS-CoV-2, sehingga diharapkan IgY dapat menetralisasi virus ketika terjadi infeksi. Karena itulah IgY sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi vaksin pasif Covid-19.
Hendris berharap, keberhasilan uji praklinis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan vaksin pasif di Indonesia.
“Keberhasilan uji praklinis diharapkan mempercepat penanganan wabah Covid-19 di Indonesia melalui penyediaan vaksin pasif yang dapat menghambat replikasi virus pada orang yang terinfeksi,” harapnya.
“Pasien dapat sembuh lebih cepat tanpa menimbulkan keparahan yang menyertai Covid-19. Selain itu, penelitian ini juga menjadi landasan bagi pengembangan diagnostik dan terapeutik berbasis IgY untuk penyakit infeksi dan kanker di Indonesia. Lebih jauh, teknik nuklir dalam uji praklinis juga dapat diaplikasikan pada berbagai kandidat obat lainnya, selain antibodi IgY” pungkasnya.