Diskriminasi kedua, yakni dari sisi keselamatan. Sebab, moda transportasi lain tidak mewajibkan pemberian hasil tes PCR, melainkan antigen. Hal itu menimbulkan kesan pembiaran bahwa orang yang menggunakan moda transportasi selain pesawat lebih mudah tertular Covid-19.
’’Secara klinis, saya enggak tahu ya apakah PCR benar lebih menjamin kesehatan dibanding antigen. Namun, terlepas dari itu, perbedaan kedua (kebijakan) ini membuat seolah-olah yang di mobil dan kereta api boleh rapid antigen, mendapat risiko penularan yang lebih tinggi ketimbang di pesawat,’’ tutur Robert.
Ombudsman pada dasarnya menyetujui pemberlakuan kebijakan tes PCR sebagai bagian dari upaya memastikan keselamatan rakyat. Namun, Ombudsman RI mendorong agar negara juga memastikan aspek keadilan pada kebijakan itu.
’’Keadilan soal harga, akses, keadilan antarwilayah, dan antarmoda transportasi,’’ imbuhnya.
Senada, Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Mahesa Paranadipa menyebutkan, pemerintah semestinya bisa menanggung biaya tes PCR. Sebab, hingga kini, Indonesia masih berada dalam situasi pandemi.
Mahesa melanjutkan, sejak awal pandemi, pemerintah membebankan biaya tes PCR kepada faskes dan masyarakat. Status kedaruratan pandemi belum juga dicabut. Jika mengacu kondisi darurat yang diatur dalam UU Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab penuh atas penanggulangan bencana dalam situasi darurat itu.
’’Jadi, pemerintah pusat dan pemda wajib menanggung semua pembiayaan dan kebutuhan sarana-prasarana terkait penanggulangan itu. Termasuk kebijakan tindakan epidemologis, yang salah satu turunannya adalah tes PCR sebagai metode screening,’’ terangnya.
(jawapos.com)