JAKARTA – Penggunaan tes reverse-transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) sebagai syarat perjalanan dengan pesawat terus memicu polemik. Di luar pro-kontra pemberlakuannya, langkah pemerintah untuk menurunkan harga tes PCR berpotensi memicu masalah baru.
Gabungan Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) mengungkapkan, teknologi yang digunakan dalam PCR beragam. Jadi, harga di pasaran juga tidak bisa satu harga.
Sekjen Gakeslab Randy H. Teguh menuturkan, berbagai teknologi yang digunakan untuk PCR itu membuat reliabilitas, kecepatan tes, efisiensi, dan keamanan juga beragam. Dia mengusulkan agar harga PCR terdiri atas berbagai macam range. Disesuaikan dengan teknologi yang digunakan.
’’Ini terkait dengan kebutuhan masyarakat dan teknologi PCR-nya,’’ ucapnya kemarin (30/10).
Menurutnya, spesifikasi itu harus mendapat perhatian. Randy menilai penentuan tarif menjadi kontraproduktif. ’’Ini tidak menarik untuk datang investasi, kemandirian, dan ketahanan alat kesehatan,’’ ujarnya.
Dengan penurunan harga, pemerintah harus memberikan pengawasan lebih. Sebab, dikhawatirkan, ada praktik yang menurunkan kualitas.
’’Kita tidak tahu, setelah dicolok apakah benar-benar dites atau tidak,’’ katanya. Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo juga menyebut kemungkinan munculnya hasil tes PCR palsu karena faktor mahalnya harga.
Terlepas dari kekhawatiran itu, Randy tidak setuju jika PCR digunakan sebagai syarat perjalanan. ’’Kami menilai tidak tepat,’’ tegasnya.
Randy mengatakan untuk proses skrining, lebih pas jika pemeriksaan dilakukan dengan rapid antigen.
Anggota Ombudsman RI Robert Endi Jaweng menyebutkan, semestinya tes PCR bisa digratiskan untuk seluruh masyarakat. Menurut dia, PCR adalah barang publik. Terlebih, hal itu sejalan dengan upaya pemerintah untuk menanggulangi pandemi.
’’Dan, pandemi Covid-19 saat ini masih bencana nasional nonalam. Jadi, sangat jelas bahwa ini adalah barang publik,’’ jelasnya.
Soal PCR sebagai salah satu syarat untuk pesawat terbang, Robert menilai hal itu diskriminatif. Menurut dia, telah terjadi diskriminasi ganda dalam penerapan penyertaan hasil PCR sebagai syarat perjalanan. Pertama, dalam hal finansial. Orang-orang yang naik pesawat dianggap mampu untuk menjalani tes PCR.
’’Jadi, ada diskriminasi secara finansial kepada mereka di pesawat, yang tanda kutip kita anggap mampu,’’ paparnya.