JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mempertanyakan komitmen pemerintah dalam pengelolaan utang Indonesia. Pasalnya, utang lndonesia kini mencapai Rp 6.626,4 triliun.
Angka itu telah melebihi setengah dari aset negara yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
Persentase ini melebihi rekomendasi dari IMF sebesar 25-35 persen, bahkan BPK RI mengingatkan potensi gagal bayar.
Syarief Hasan menilai pemerintah harusnya mengambil langkah strategis dan hati-hati.
“Harusnya, pemerintah juga ikut berhati-hati dalam pengelolaan utang luar negeri yang semakin membludak ini. Pemerintah juga harusnya mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan utang luar negeri pada sektor yang belum terlalu krusial,” ungkap Syarief Hasan.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menyebutkan pengelolaan keuangan negara pada Kuartal II-2021 semakin memprihatikan.
“Persentase utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto juga hampir mencapai 42 persen yang tentu sangat berbahaya bagi Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak,” tutur Syarief Hasan.
Syarief Hasan juga mengingatkan utang Indonesia mendekati batas maksimal yang disebutkan di dalam UU Keuangan Negara.
“Setahun sebelumnya, rasionya masih 37 persen, lalu merangkak 38,5 persen, dan kini telah mencapai 41,64 persen. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang Indonesia sangat buruk, tetapi Pemerintah malah menganggapnya aman dan masih berusaha melakukan penambahan utang,” heran Syarief Hasan.
Politikus Senior Partai Demokrat ini pun mengingatkan untuk memperhatikan rekomendasi IMF dan BPK sebagai lembaga yang kompeten dalam urusan keuangan.
“Indikator kerentanan utang 2020 Indonesia berasal dari hasil kajian BPK yang menyebut melampaui batas rekomendasi IMF dan IDR. Harusnya, rekomendasi ini menjadi perhatian penting untuk dijalankan oleh pemerintah,” ungkap Syarif Hasan.
Syarief Hasan juga mendorong pemerintah untuk melihat sektor yang lebih prioritas. Menurut dia selama ini, pembangunan infrastruktur yang belum krusial terus masif dilakukan dan menyedot banyak anggaran negara.
“Padahal, Pemerintah harusnya lebih memprioritaskan penumbuhan dan penguatan ekonomi nasional sehingga mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri,” tutup Syarief Hasan.