“Pelaksanaan teknis kerja sama tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Apalagi, secara substansi, isi maupun substansi Perka BKN yang disebut tidak sesuai digunakan sebagai rujukan kerja sama dengan pihak ketiga,” sambungnya
Dalam hasil penyelidikan Komnas HAM, lanjut Amiruddin, klausul TWK dimunculkan oleh Pimpinan KPK di dalam beberapa pertemuan internal untuk dimasukkan ke dalam draf Perkom Nomor 1 Tahun 2021 pada akhir waktu sebelum harmonisasi final dan pengesahan. TWK juga ditegaskan dalam rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM pada 26 Januari 2021 yang langsung dihadiri oleh menteri dan pimpinan lembaga/instansi terkait.
“Dalam rapat harmonisasi itu disepakati klausul Asesmen TWK yang bekerja sama dengan BKN di dalam Pasal 5 ayat (4) draf final Raperkom. Meskipun, rapat harmonisasi dihadiri oleh pimpinan kementerian/lembaga, namun Berita Acara Pengharmonisasiannya ditandatangani hanya oleh staf,” ungkap Amiruddin.
Bahkan Komnas HAM mengungkapkan, penyelenggara asesmen TWK bertindak kurang hati-hati dan cermat dalam menjalankan aturan hukum yang berlaku dan terjadi pelanggaran kode perilaku asesor, antara lain tidak adanya upaya atau penjelasan yang dapat membuktikan kebenaran informasi bahwa seluruh asesor yang terlibat dalam proses asesmen TWK telah mengikuti pelatihan dan tersertifikasi.
Padahal dua hal tersebut diatur dalam Perka BKN maupun fakta bahwa pelanggaran kode etik karena asesor melakukan, antara lain mengarahkan atau memaksakan sebuah pandangan tersentu, intimidatif dengan menggebrak meja dan pelecehan terhadap perempuan.
Karena itu, Amirddin menegaskan kredibilitas asesor dapat dinilai tidak sesuai dengan peraturan hukum dan kode etik, serta bermuara pada tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia dalam tahapan penyelenggaraan asesmen TWK tanpa adanya penjelasan. Bahkan pendalaman dan klarifikasi terkait maksud dan tujuan serta indikator penilaian atas pertanyaan/pernyataan tersebut.
Terlebih, jenis pertanyaan dan indikator penilaian merah, kuning dan hijau dalam asesmen TWK sebagaimana telah beredar di publik merupakan benar adanya. Dia menyebut, hal ini merupakan persoalan serius dalam HAM, karena diskriminatif, bernuansa kebencian, merendahkan martabat dan tidak berperspektif gender.
“Hasil asesmen TWK berupa penilaian memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat,” pungkas Amiruddin.