Penanganan Covid-19 RI Dipuji Malaysia, Tapi Kematian Tertinggi se-Asean

JAKARTA – Malaysia memuji Indonesia karena bisa menurunkan kasus Covid-19 dalam waktu cepat. Hal itu terlihat pada penurunan kasus aktif hingga ketersediaan tempat tidur atau BOR rumah sakit.

Akan tetapi, Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman justru mengkritik Malaysia. Menurutnya, Malaysia semestinya melihat lebih detail bahwa tes Covid-19 di Indonesia rendah dan angka kematian di Indonesia masih tinggi.

“Belum (bisa dipuji) memang, jadi upaya kita ini logika programnya tuh belum berjalan dengan memadai dan itu sudah setahun dalam hal ini 3T testing, tracing, dan treatment masih kurang. Misalnya ketemu kasus 1.000 hari ini, harusnya besoknya 1000 dikali 15 orang dites. Dan ini enggak terjadi, 3T kita lemah sekali,” katanya kepada JawaPos.com, Selasa (7/9).

“Bahkan 1 orang dites per seribu populasi penduduk tuh enggak tercapai. Di bawah 1 malah kita. Kontribusi testing malah lebih banyak dari Jabodetabek. Maka kalau Jabodetabek turun ya turun nasional. Kalau Jabodetabek naik ya nasional ikut bagus,” tambahnya.

Menurut Dicky, jika ada negara lain yang bertanya mengapa Indonesia bisa cepat menurunkan kasus Covid-19, sebetulnya menurutnya bukan hanya Malaysia. Negara lain juga mempertanyakan.

“Tapi mungkin Malaysia lupa, bahwa kematian kita masih tinggi,” ungkapnya.

Ia menegaskan dalam konteks penanganan Covid-19 di Indonesia belum banyak keberhasilan. Hal itu karena minimnya data karena 3T yang lemah. “Padahal kalau ditemukan kasus ini, yang harus dihindari kan beban kesehatan di faskes dan kematian,” tuturnya.

“Kalau ada pertanyaan dari Malaysia seperti itu ya wajar, saya antara senang dan juga agak khawatir,” tuturnya.

Kematian Tertinggi di ASEAN

Dicky mengkritik pejabat publik di Indonesia jika mengklaim kasus Covid-19 di Indonesia membaik dan kasusnya paling rendah se-ASEAN. Sebab menurutnya bagaimana bisa menilai kasus sedikit turun sementara jumlah tes saja memang lemah.

“Jika ada yang klaim paling rendah di Asean jadi enggak valid, enggak kuat datanya, karena gimana mau bicara kasus kita sedikit, karena yang dicarinya yang ditesnya sedikit, padahal wilayahnya besar dan penduduknya banyak. Kecuali kalau di Asean kita terbanyak tesnya, nah itu kuat kita,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan