JAKARTA – Sebagian masyarakat pedesaan masih belum memahami apa itu penyakit Covid-19. Mereka juga belum terlalu paham apa manfaat vaksinasi dan protokol kesehatan 3M atau memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun. Apalagi banyaknya infodemic dan hoax yang menyebar di media sosial membuat masyarakat semakin bingung.
Divisi Jaringan dan Kerjasama Forum Solidaritas Kemanusiaan (FSK) Abdul Rahman Ma’mun mengatakan edukasi dan literasi tentang Covid-19 harus sampai ke masyarakat di tingat paling mikro. Begitu juga pemerintah pusat bisa semakin gencar mengedukasi pemerintah daerah untuk mengedukasi penanganan Covid-19.
“Saya ambil contoh di Jawa, edukasi literasi ini bisa menggunakan istilah setempat dengan lebih baik, daripada ilmiah yang belum tentu dimengerti. Jadi bahasanya sederhana, bisa pakai ungkapan daerah,” ujarnya secara daring baru-baru ini.
Namun menurutnya, tantangan sudah pasti ada karena berkaitan dengan perubahan perilaku. Tak mudah mengajak orang untuk mengubah perilaku, padahal kita masih hidup berdampingan dengan Covid-19.
“Jika mau melakukan perubahan perilaku maka pada akhirnya itu bisa menjadi ketahanan dalam diri kita sendiri. Itulah yang dibutuhkan,” tambahnya.
Menurutnya, edukasi akan berjalan ketika diperkaya dengan melibatkan solidarity maker. Para pejabat daerah misalnya, pada situasi sekarang harusnya lebih berempati dalam melihat situasi.
Jika kesulitan, bisa memperluas jaringan untuk menyebarkan infomasi yang benar dibantu para solidarity maker untuk membentuk solidaritas di masyarakat.
“Solidarity maker, bisa dari influencer, tokoh masyarakat atau tokoh berpengaruh lainnya,” katanya.
“Jika ada orang-orang yang punya pengaruh besar ini dilibatkan akan lebih efektif. Mereka mudah menyatukan dan lebih empatik, karena di setiap daerah perilakunya juga berbeda-beda,” jelasnya.
Menurut Abdul Rahman, belum lagi soal paparan informasi di media sosial tentang Covid-19, yang disebut infodemic. Kecepatan sama-sama kuat ketika menyebarkan informasi yang benar dan tidak benar.
“Praktiknya di masyarakat, kita informasi lewat WA grup, pada umumnya lebih sering dipercaya, semua merasakan, misalnya di WA Grup keluarga masing-masing.”
“Orangtua kita saja kadang enggak percaya sama kita, dan lebih percaya informasi yang muncul di media sosial. Padahal kalau mau, kita bisa meringkas informasi yang benar dengan bahasa sederhana, akan lebih mudah diterima,” katanya.