JAKARTA – Anggota Komite I DPD RI Abdul Rachman Thaha menyoroti vonis hukuman denda Rp 20 juta subsider lima bulan kurungan untuk Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam perkara kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa yang meminta eks imam besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut dihukum 10 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
“Jauh sekali jarak antara majelis hakim dan jaksa penuntut umum dalam perkara Megamendung dengan terdakwa HRS,” ucap Rachman Thaha dalam keterangan yang diterima JPNN.com, Jumat (28/5).
Menurut Rachman, pada umumnya dalam persidangan di banyak negara, hukuman penjara diberikan hanya kepada terdakwa yang melakukan kejahatan kelas berat. Sedangkan denda diberikan kepada pelaku yang perbuatan pidananya dinilai ringan.
Terlebih lagi saat besaran denda yang diputuskan hakim berbeda tajam dengan nilai denda yang dituntut jaksa, kata Rachman, maka kian nyatalah bahwa perbuatan pelanggaran protokol kesehatan (Prokes) terdakwa Habib Rizieq memang tergolong ringan.
“Pun karena hakim tidak mengirim HRS ke rumah prodeo, makin terkoreksi anggapan komplotan buzzer bahwa HRS sejatinya bukan orang yang berpotensi membahayakan orang banyak,” ujar senator kelahiran Kota Palu, 17 September 1979 itu.
Rachman mengatakan hukuman denda memang cara untuk mengubah tindak-tanduk terdakwa. Tetapi karena dia tidak dipenjara, maka bisa dipahami upaya mengubah terdakwa sama sekali tidak perlu dilakukan dengan menjauhkannya dari publik.
“HRS tetap dibolehkan beraktivitas asalkan tidak dengan melanggar prokes,” ucap dia.
Anggota DPD RI dapil Sulawesi Tengah itu menilai hukuman denda bagi HRS semestinya menjadi pelajaran dan berdampak pada tingkat kepatuhan masyarakat. Namun, efek jera itu juga ditentukan oleh seberapa jauh proses penegakan hukum dilakukan secara cepat dan konsisten.
“Dalam kasus Habib Rizieq, proses hukumnya cepat sekali. Jadi, aspek kecepatan sudah terpenuhi. Tetapi masih ada masalah pada konsistensi,” kata ketua wilayah Parmusi Sulawesi Tengah periode 2014-2019 itu. Perihal konsisten itu dikaitkan Rachman Thaha dengan berbagai macam bentuk kegiatan yang terindikasi kuat melanggar protokol kesehatan (prokes), bahkan yang sengaja dilakukan oleh sekian banyak pejabat negara, tokoh elite, dan selebritas. Faktanya sampai saat ini tidak diproses hukum sama sekali. Padahal, beberapa di antaranya punya skala yang sangat besar. Apakah mereka dibiarkan atau diam-diam telah ditindak lewat restorative justice, tak ada kabarnya yang bisa disimak di media massa,” tutur dia.