Mengenai hukum masalah di tulis di atas, berdasakan ijma’ ulama kaum Muslimin bahwa minum dan jima’ (mengauli istri), jika dilakukan pada siang hari dengan sengaja dan ia ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal.
Sedangkan jika menggauli istri dalam keadaan lupa, bahwa ia sedang berpuasa atau lupa di hari Ramadan, maka ini tidak membatalkan puasa dan tidak terkena kafarat.
Pendapat ini berdasarkan firman Allah : رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَآإِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا “(Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah”. (QS:Al Baqarah : 286).
Sementara itu, jika hubungan intim di siang hari pada bulan Ramadan ketika berpuasa dilakukan secara sengaja, kalangan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa Kewajiban membayar kafarat bagi orang yang mempergauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan.
Untuk Kafarat (denda) ada tiga di antaranya, membebaskan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Para ulama berselisih, apakah pilihannya harus urut ataukah tidak? Maksudnya pilihan pertama yaitu membebaskan budak. Bila tidak mampu, maka pilihan kedua puasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga, kemudian pilihan ketiga, yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, atau bebas memilih satu di antara tiga itu.
Ada juga yang berpendapat bahwa kafârat gugur dengan ketidakmampuan. Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Ahmad bin Hambal rahimahullah dan salah satu dari pendapat Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada orang tersebut untuk memberi kurma kepada keluarga.
Seandainya itu adalah kafârat respons maka tentunya tidak boleh dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kalau kafârahnya masih dalam tanggungannya. (Allahu A’lam) (***)