Luly juga optimis bahwa persoalan yang kini dialami kaum perempuan itu masih bisa diatasi asalkan ada kemauan dan usaha keras. Selain itu, pendidikan juga menurut dia berperan besar dalam pembebasan kaum perempuan dalam kekangan tradisi.
“Saya tetap optimis bahwa kaum perempuan masih bisa keluar dari dogma budaya dan tradisi yang ada. Asalkan dari kaum perempuan sendiri muncul suatu keinginan dan usaha keras. Di sisi lain kita juga berharap agar peran lembaga pendidikan juga lambat tapi pasti bisa mengatasi persoalan ini,” cetus Luly.
Walau begitu, Luly tetap berharap agar kaum perempuan masih tetap tunduk pada kodratnya sebagai seorang wanita. Ini juga sekaligus menjaga agar ruang gerak emansipasi perempuan Indonesia tidak sampai terjebak pada gerakan feminisme radikal ataupun dengan berbagai variannya.
Sebab, emansipasi tidak berarti mengingkari kodrat. Singkatnya, emabsipasi memiliki konteks pada sosio-budaya yang selama ini disalahartikan oleh sebagian besar masyarakat. Sementara kodrat memiliki makna suatu ketetapan yang bersifat lahiriah dan susah dipertukarkan.
“Jadi usaha yang keras bagi kaum perempuan di sini harus dipahami dalam arti yang sesungguhnya. Dengan kata lain, tidak keluar dari kodratnya sebagai kaum perempuan. Yakni, sebagai seorang ibu dan puteri sesuai tuntutan agama,” ujar Luly.
Lebih lanjut, Luly mengatakan bahwa perempuan sendiri berakar dari kata ‘empu’ yang mengandung arti ‘tuan’, orang yang mahir atau berkuasa atau juga diartikan sebagai kepala.
“Namun dalam konteks emansipasi ini, perempuan dipahami sebagai sosok yang mempunyai nilai tinggi dan sejajar dengan jenis kelamin lainnya. Sebab dalam agama pun manusia yang dilihat taqwanya bukan jenis kelaminnya,” pungkasnya lagi. (Mg12)