Ketiga, ungkap dia, perlu adanya tim pengawasan untuk pejabat-pejabat negara. KPK membuat pengawasan khusus untuk mengawasan penyelemggara negara. Seperti yang dilakukan di Negara Hongkong.
“Sekarang kan KPK campur, seperti birokrasi dan pengusaha dan lainnya diawasai. Nah KPK harusnya membuat lembaga khusus untuk tingkat kepala negara dan kepada daerah,” ungkapnya.
“Di Indonesia belum, tapi di Hongkong kalau tidak salah ada tim yang mengjangkau. Polisi pun kena, dan lainnya kena. Nah inilah yang intens mengawasi, menguji laporan, kekayaan. Kalau perlu secara rutin laporan kekayaan dilaporakn setiap bulan,” tambahnya.
Dirinya menilai, kepala daerah terlihat seperti tidak takut terhadap Undang-Undang KPK. Padahal sangat keras, tegas namun diabaikan.
“Pada tidak takut UU. Apalgi kontrak, ah dibuat saja sebagai formalitas. UU KPK sangat betul-betul tegas, keras hukumannya diabaikan, tidak takut kan? Apalagi soal kontrak politik, itu tidak berarti,” tegasnya.
Faktor yang yang kedua, kata Prof Asep, pengawasan di internal parpol dan internal pemerintahan. Sehingga tak membuat gendar untuk melakukan penyelewengan wewenang.
“Biasanya kepala daerah itu kuatnya di parpol. Mungkin juga internal pemerintahan, seperti inspektorat, BPK, BPKP memang tidak cukup kuat untuk menyakinkan kepala daerah untuk tidak dampak buruk,” katanya.
Sehingga, ujar dia, pengawasan internal parpol maupun internal baik BPK maupun BPKP tidak memberikan efek untuk membuat takut meraka yang melakukan korupsi.
Faktor ketiga, sambung dia moralnya buruk. Memang tidak punya beban untuk mengembalikan utang, pengawasan memang bagus, tapi moralnya buruk. Maka tetaplah melakukan korupsi.
“Kenapa moralnya ancur? Karena gaya hidup yang memang membawa mereka berbuat seperti itu. Entah keluarga, entah lingkungan. Pokoknya gaya hidup mereka sudah tidak biasa lagi seperti mereka belum menjadi pejabat,” sambungnya.
“Jadi pertama masalah beban hutang, modal biaya dulu pilkada, kedua pengawasan tidak efektif sehingga mereka tetap bisa membuat mengakali pengawasan itu, ketiga moralnya buruk, karena gaya hidupnya disesuaikan dengan kepala daerahnya itu. Segala gayanya baik, harus mewah. Jadilah terjerumus dengan suap ini. Terakhir imannya lemah,” pungkasnya. (win)