BANDUNG – Penyandang disabilitas kerap kali dipandang sebelah mata. Tidak hanya dalam kemampuan mereka di kehidupan sosial, mereka juga mendapat stigma negatif dalam urusan pernikahan. Terkadang stigma negatif tersebut berasal dari lingkungan sekitar bahkan keluarga.
Namun menurut Handayani, seorang disabilitas polio asal Bandung, menurutnya setiap orang memiliki hak yang sama termasuk dalam pernikahan. “Menikah bukanlah semata untuk memiliki keturunan, namun juga mengenai pengertian serta berbagi rasa,” tuturnya.
Ia sempat mendapat stigma negatif dari keluarga suaminya mengenai pernikahannya. Banyak kekhawatiran dari keluarga suami, terutama mengenai masalah ekonomi. Meskipun begitu, pihak keluarga Handayani tetap mendukung untuk menikah.
Handayani bersama suami merupakan penyandang disabilitas polio. Akan tetapi, keadaan suaminya lebih parah darinya.
Handayani termasuk penyandang disabilitas ringan karena hanya satu kaki saja yang terpengaruh. Namun, sang suami merupakan penyandang disabilitas berat karena polio tersebut mempengaruhi kedua kakinya sehingga ia harus menggunakan kursi roda.
Menurutnya setiap keluarga berbeda, ketika anaknya memiliki disabilitas berat akan banyak ketakutan dan kekhawatiran saat menentukan pernikahan.
“Setiap orang memiliki tujuan hidup dan menikah, bukan mengenai harus memiliki keturunan, dengan pernikahan kita bisa saling berbagi dan tidak selalu merasa sendiri,”ungkapnya.
Setelah pernikahannya Handayani bersama suami dikaruniai dua anak, seorang perempuan dan seorang laki-laki.
Menurutnya, kedua anaknya yang sebagai nondisabilitas (normal) berkembang dengan baik dan memiliki kesadaran yang baik terhadap lingkungannya. (Mg13)