Konstruksi pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak tersebut menunjukkan bahwa setelah diperhatikan dengan saksama, pendapat anak bisa saja diabaikan sepanjang pengabaian itu justru akan mendukung terealisasinya kepentingan terbaik anak. “Dengan kata lain, unsur kehendak anak bisa dikesampingkan sepanjang, sekali lagi, pengesampingan itu justru lebih kondusif bagi terpenuhinya kepentingan terbaik anak,” tegas Bang Reza.
Dari situ, lanjut Reza, bisa dibayangkan sebuah ilustrasi; ketika anak menyatakan bahwa dia menolak mengenakan busana yang diwajibkan sesuai kaidah agamanya, jika pernyataan anak tersebut dipenuhi, maka itu justru akan menjauhkan anak atau peserta didik dari tercapainya tujuan pendidikan, yakni menjadikan peserta didik sebagai manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
ebaliknya, pengabaian terhadap pendapat peserta didik tersebut justru akan lebih memungkinkan terealisasinya tujuan pendidikan dimaksud. “Dengan kata lain, tetap mewajibkan peserta didik berbusana sesuai kewajiban agamanya, betapa pun bertentangan dengan kehendak anak, justru lebih mendukung terpenuhinya kepentingan terbaik anak,” ucap Reza.
Di sisi lain, kata pekerja di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) ini, dinamika psikologis anak dan konstruksi pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak, dengan demikian, memberikan justifikasi kepada semua pihak, termasuk Pemda dan pihak sekolah untuk mewajibkan bagi peserta didik berbusana sesuai ketentuan yang diwajibkan oleh agamanya masing-masing. (fat/jpnn)