Secara terpisah, Direktur Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) Hidayat membenarkan pernyataan Hermanto tersebut. Menurutnya, angka produksi kedelai nasional yang jumlahnya terbatas hanya sekitar 400 ribu ton per tahun, tentu sangat jauh dari total kebutuhan kedelai nasional yang rata-rata jumlahnya 3 juta ton per tahun.
“Impor kita utamanya dari Amerika Serikat (AS), kemudian dari Kanada. Besaran impor kita enggak ada proyeksi, tapi sekitar 2,6 juta ton kalau kita impor,” ujar Hidayat kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin.
Mengenai proyeksi kebutuhan impor tahun ini, Hidayat mengatakan belum memiliki data kebutuhan domestik tahun 2021. Hanya saja jika melihat dari anggaran Kementan yang juga mengalami pemangkasan untuk penanganan Covid-19, diperkirakan produksi kedelai nasional tahun ini akan menurun dan dibutuhkan importasi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Data produksi kedelai dalam negeri, baik Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Kementan masih sulit (belum dirilis). Tapi kalau di APBN, target di 2021 kalau enggak salah 421 ribu ton. Anda bisa bayangkan, berarti di 2021 kan bisa lebih kurang, apalagi anggaran diturunin,” tuturnya.
Terkait kegiatan impor kedelai, Hidayat menyebut tidak ada kendala meskipun situasi pandemi covid-19. Namun demikian, situasi tersebut memang berpengaruh terhadap harga komoditas kedelai di pasar internasional.
“Jadi sudah benar seperti apa yang dilakukan Kemendag dengan mengumumkan ke publik tentang adanya gejolak harga kedelai di Internasional, sehingga publik jadi tahu jika harga kedelai impor naik, termasuk juga bisa mempersiapkan antisipasinya,” pungkas Hidayat.
Sebagaimana diketahui, mahalnya harga kedelai membuat ribuan pengrajin tahu tempe DKI Jakarta menggelar aksi mogok produksi selama tiga hari, terhitung 1 – 3 Januari 2021. Ketika itu harga kedelai meningkat dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram. (Fin.co.id)