JAKARTA – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual anak melanggar peraturan internasional yang disetujui oleh Indonesia.
Sebab, hukuman kebiri kimia berpotensi merendahkan martabat manusia. “Penghukuman kebiri kimia jelas melanggar aturan internasional tentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam,” ujar Usman kepada wartawan, Selasa (5/1). Dilansir dari jpnn.com, Selasa (5/1)
Usman menyarankan, pelaku kejahatan seksual anak sebaiknya dipenjarakan ketimbang dikebiri kimia. Efek pemenjaraan bisa membawa pelaku tidak mengulangi perbuatan setelah masa hukuman selesai dijalani. “Pemenjaraan dalam waktu yang lama disertai program-program penyadaran yang dapat membuat seseorang menjadi sadar akan perbuatannya,” kata dia. Walakin tidak setuju dengan hukuman kebiri kimia, Usman menegaskan, Amnesty Internasional menolak setiap bentuk kejahatan seksual. Seraya meminta pemerintah menentukan langkah tepat menghukum pelaku kejahatan seksual. Baca Juga:
“Amnesty International menolak segala bentuk kejahatan seksual termasuk terhadap anak dan meminta pemerintah untuk mengambil langkah yang tepat untuk menghentikan kejahatan seksual,” ungkap dia Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Dalam aturan itu, terdapat opsi hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual anak. Hal itu tertuang dalam Pasal 1 Ayat 2 PP Nomor 70 Tahun 2020.
Ayat (2) menyebutkan, “Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi”. (Jpnn.com)