BANDUNG – Sektor pertanian belum menjadi magnet pekerjaan bagi generasi milenial di Indonesia, termasuk Jawa Barat (Jabar). Padahal, generasi milenial diharapkan membawa perubahan pada sektor pertanian masa depan.
Berdasarkan hasil survei pertanian antar sensus (sutas) 2018 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, jumlah petani di Jabar mencapai 3.250.825 orang. Dari jumlah tersebut, petani yang berusia 25-44 tahun hanya 945.574 orang atau 29 persen. Kondisi tersebut tentu memberikan efek domino bagi sektor pertanian di Jabar.
Pemerintah Provinsi Jabar melalui program Petani Milenial berupaya mengubah wajah pertanian menjadi segar agar generasi milenial tertarik menjadi petani. Pemanfaatan teknologi pun dilakukan. Hal ini juga yang kemudian menjadi salah satu tema bahasan dalam West Java Food And Agriculture Summit (WJFAS) 2020 yang didukung bank bjb pada Kamis (10/12/2020).
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura (Distanhor) Jabar Dadan Hidayat mengatakan, Petani Milenial digagas Pemprov Jabar untuk meregenerasi petani di Jabar. Selain itu, Petani Milenial harus adaptif terhadap perubahan, dan menguasai teknologi digital.
”Saat ini, perlu regenerasi petani. Perubahan tantangan di sektor pertanian semakin berat. Perlu pelaku utama yang adaptif terhadap perubahan, teknologi semakin maju, dan globalisasi,” kata Dadan.
”Tujuan dari Petani Milenial adalah meingkatkan produktivitas, produksi pertanian, meningkatkan pendapatan dan ekspor, menumbuhkan generasi mudah untuk menjadi petani, dan menciptakan pertanian maju, mandiri, dan modern,” imbuhnya.
Dadan menjelaskan, dalam program Petani Milenial, lahan milik Pemprov Jabar yang tidak terpakai dapat dimanfaatkan petani muda dengan sistem pinjam pakai atau bentuk kerja sama lainnya. Setiap petani muda dapat memanfaatkan minimal satu hektare lahan.
Komoditas yang ditanam pun disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan kondisi lahan. Hal itu dilakukan agar komoditas hasil petani muda dapat terserap pasar atau bahkan masuk pasar global. Pemprov Jabar akan mencari offtaker, baik domestik maupun ekspor. Dengan begitu, petani muda dapat berkolaborasi dengan offtaker mengenai komoditas apa yang mesti dihasilkan.
”Komoditas harus yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berdaya saing, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Pemasarannya dapat juga dilakukan dengan kerja sama bersama para pelaku pasar sebagai offtaker,” ucap Dadan.