CIMAHI – Nasib malang menimpa Nur Juwita, 41, di tengah pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) ini keluarganya harus tersisihkan dari penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH).
Padahal secara kebutuhan ekonomi, Keluarga Penerima Manfaat (KPM) asal Jalan Usman Domiri, RT 01/03, Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi itu terbilang pas-pasan.
Sementara di keluarganya masih ada dua anak yang memenuhi kategori untuk menerima bantuan tersebut. Yakni anak bungsunya yang berusia dibawah lima tahun dan anak keduanya yang duduk di sekolah menengah atas.
Nur Juwita mengetahui keluarganya terdepak dari penerima PKH ketika dipanggil petugas ke E-Waroeng di sekitar wilayahnya. Di sana, ia dan sejumlah warga lainnya diminta untuk mendandatangani sebuah surat.
“Jadi disuruh tanda tangan, dianggap mengundurkan diri keluar dari PKH,” kata Nur Juwita saat ditemui, Minggu (18/10).
Berdasarkan informasi yang diterimanya dari petugas, penghentian keluarganya sebagai penerima PKH karena masih ada warga lainnya yang menunggu giliran untuk menerima bantuan tersebut. Untuk itu, keluarganya pun dikorbankan meski taraf ekonominya belum membaik.
Penghentian secara halus dari PKH membuat beban ekonomi keluarganya terasa semakin berat. Apalagi ia masih memiliki tunggakan pembayaran sekolah anak pertama dan anak keduanya.
Anak keduanya yang sekarang duduk di bangku SMK masih memiliki tunggakan sekitar Rp 1 juta ke SMP terdahulunya. Sementara anak pertamanya yang kini bekerja di sebuah tempat mie siap saji masih memiliki tunggakan sekitar Rp 8 juta ke SMK terdahulunya. Ijazah keduanya pun belum bisa diambil karena tunggakan tersebut.
“Iya ijazahnya ditahan karena belum lunas,” ucapnya.
Keluarganya terdaftar sebagai penerima PKH sejak tahun 2013. Bantuan dari program Kementerian Kesehatan (Kemensos) itu sangat membantu perekonomian keluarganya yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Suaminya hanyalah seorang kuli bangunan yang berpenghasilan Rp 350 ribu per pecan. Itupun kalau ada proyek yang dikerjakan. Sementara Nur Juwita hanyalah buruh serabutan yang mau mengerjakan apapun asalkan halal.
Seperti yang tengah ia kerjakan di rumah yang terbilang tak layak huni saat ini. Nur Juwita tengah memotong kain renda milik orang lain dengan upah Rp 100 ribu per minggu. Untungnya anak pertamanya sudah bekerja meski hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.