BANDUNG BARAT– Polres Cimahi tengah mengusut dugaan penjualan tanah carik seluas 15 hektare yang dilakukan oleh mantan Kepala Desa Cikalong, Kecamatan Cikalongwetan ke pihak perseorangan.
Untuk diketahui, tanah carik atau tanah desa yang dijual itu merupakan lahan garapan warga setempat dari beberapa RW. Total ada sebanyak 47 penggarap yang menggarap lahan terbagi dalam beberapa blok, antara lain blok Jaliyam, blok Pasir Kawah, blok Gunung Batu, dan blok Cigoong.
Kanit Tipikor Satreskrim Polres Cimahi, Iptu Herman Saputra, mengatakan pihaknya sudah memproses kasus dugaan penjualan tanah carik dan tanah negara di Desa Cikalong.
“Untuk kasus tanah carik di Cikalong naik penyidikan. Kami sudah periksa 100 orang, di antaranya 47 orang penggarap. Jadi ada tanah negara dan kas desa atau tanah carik.
Dari dua kategori itu, berbentuk sertifikat atas nama perorangan,” kata Herman, Selasa (29/9).
Tanah carik tersebut dijual ke perseorangan atas nama Hendra, yang diketahui bukan merupakan warga Cikalong. Selain itu, penjual juga melakukan pembuatan dokumen palsu yang menyebutkan 27 penggarap memohon pembuatan sertifikat tanah carik yang nantinya akan dimiliki pembeli.
Kepala Desa Cikalong yang saat ini menjabat, Agun Gumelar mengatakan sebagian tanah cari yang sudah disertifikatkan sudah dibatalkan dan statusnya kembali menjadi tanah carik.
“Saya sebagai kepala desa yang baru memang prihatin dengan kasus ini. Makanya saya langsung minta permohonan pembatalan sertifikat tanah carik yang sudah terbit dan dikabulkan. Informasinya memang ada beberapa blok yang sudah disertifikatkan,” ungkap Agun.
Pihaknya saat ini fokus untuk meminta kembali pembatalan sertifikat untuk tanah carik desa di blok lainnya. Sebab masih ada beberapa blok yang ternyata sudah terbit sertifikatnya.
“Kita fokus dulu untuk mengajukan permohonan pembatalan sertifikat tanah carik blok lainnya. Karena kan secara status pun tidak boleh diperjualbelikan,” terangnya.
Saat ini tanah carik yang tengah dipermasalahkan itu tidak ada yang berani menggarap. Sebab warga pun merasa takut terjerat hukum.
“Sekarang tanahnya ya dibiarkan saja karena engga ada yang menggarap. Warga jadi kerja yang lain dulu selama mereka tidak menggarap lahan itu,” bebernya.