Akhirnya Tesla saya telantar. Sudah lama di layar komputernya tertulis “harus diservis”. Tapi saya tidak bisa melakukan servis itu.
Makna dari perintah servis itu adalah: saya harus meng-upgrade software. Sudah ada software yang baru yang harus diikuti. Bisa di download lewat komputer di mobil itu. Lewat online.
Semua perintah servis –apa saja– memang bisa dilihat di layar komputer yang besar yang di dekat kemudi itu. Tapi saya tidak punya password-nya. Salah urus sejak awal.
Setelah itu ada persoalan tambahan: kunci hilang. Sedang kunci satunya tertinggal di dalam mobil. Saya juga tidak tahu siapa yang menghilangkan kunci itu. Mungkin saya. Mungkin kang Sahidin. Mungkin hilang sendiri.
Delapan bulan mobil saya itu tidak jalan. Apalagi ada pandemi. Untung mobil listrik tidak perlu selalu dipanasi. Kang Sahidin minta tolong siapa saja yang bisa membuka pintu Tesla itu. Untuk mengambil kunci yang ada di dalam.
Pintu dibuka paksa. Kunci ketemu. Baterai kunci habis. Mudah. Bisa beli di Indomaret. Tapi karena pintu itu dibuka paksa, sistemnya ngambek. Kunci itu tidak bisa lagi dipakai menghidupkan mobil.
Ups… Ternyata bisa. Pakai frekuensi. Taruh saja kunci itu di dalam box colokan listrik. Ternyata mobil bisa hidup. Tapi tidak bisa dikunci.
Begitulah nasib Tesla saya. Saya sudah bisa pakai lagi setiap hari. Tapi secara tidak normal seperti itu. Sampai ada yang bisa membantu saya menormalkannya.
Saya juga lagi cari cara agar bisa diakui sebagai pemilik Tesla. Agar bisa mendapat password untuk akses ke sistem komputernya Tesla.
Saya setuju: Tesla ini bukan mobil, melainkan komputer yang diberi roda.
Mobil listrik tidak bisa disepelekan lagi. Tahun ini Tiongkok memproduksi segala jenis kelas mobil listrik.
Di kelas atas Tesla membuat pabrik begitu besar di Shanghai. Bahkan memperluas pabriknya itu dengan satu pabrik lagi.
Akan ada lima merek lokal yang akan bersaing dengan Tesla. Seperti Nio dan BYD.
Tahun ini muncul mobil listrik murah: hanya Rp 75 juta. Pemiliknya pabrikan Amerika, GM, yang berkongsi dengan Wuling.