“Ini pekerjaan yang tidak mudah bagi Bawaslu, bagaimana bisa menindaklanjuti temuan atau laporan ujaran kebencian yang dilakukan di akun yang tidak resmi di media sosial,” kata Ratna.
Selain itu, Bawaslu juga menyusun strategi lainnya untuk mencegah politisasi SARA. Bawaslu membangun komitmen dengan calon kepala daerah untuk menolak politisasi SARA dan ujaran kebencian.
Bawaslu menyusun indeks kerawanan pemilu sebagai early warning system. Bawaslu juga akan bekerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan dalam penegakan hukum pelanggaran pilkada terkait ujaran kebencian dan politisasi SARA ini.
“Terutama fokus kami dengan tim siber di Mabes Polri untuk menelurusi pemanfataan media sosial di dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran berkaitan dengan tindak pidana pemilihan,” tutur Ratna.
Ia menambahkan, proses penindakan hukum terhadap praktik politsasi SARA dan ujaran kebencian menjadi cara paling efektif untuk memberikan sanksi. Menurut Ratna, kontestasi dengan memanfaatkan agama serta simbol-simbolnya untuk menegasi calon kepala daerah yang beda agama atau suku akan menimbulkan ketidaksetaraan politik.
“Kita tahu persis bahwa ini adalah sebuah hal yang bisa mencederai proses pemilihan kita, ketika isu-isu SARA dijadikan tema sentral di dalam pemenangan Pilkada 2020,” imbuh Ratna. (spd/bbs/red)