KARAWANG – Suhu politik Karawang makin panas. Setelah ketiga pasang balonbup-wabup mendaftarkan diri ke KPU, gelombang kampanye hitam makin deras, terutama di grup-grup medsos. Saling serang antar kubu sangat terasa ketika merespon peristiwa politik yang merupakan tahapan-tahapan pilkada Karawang.
Ribuan akun medos anonim bahkan sudah mulai melakukan serangan terhadap calon tertentu. Kemudia dibalas oleh akun-akun medsos lain sesuai dengan afiliasi politiknya masing-masing.
Bahkan tidak jarang tokoh politik Karawang terlibat debat kusir di medsos gara-gara narasi kampanye hitam.
Menanggapi fenomena ini, pengamat komunikasi politik Unsika Dr Eka Yusuf mensinyalir ketiga kubu memang sudah menyiapkan serangan-serangan politik kepada lawan, dengan tujuan melemahkan lawan.
Apakah bisa efektif? Eka menjelaskan, harusnya para politisi menghentikan cara-cara itu. Di sampaikan tidak efektif menaikkan elektabilitas paslon yang didukung, juga merupakan cerminan dari rasa rendah diri untuk memenagkan pilkada.
“Kampanye hitam adalah cerminan dari rasa rendah diri untuk memenangkan persaingan. Orang yang menyebarkan fitnah untuk menjatuhkan lawan di Pilkada adalah orang yag kehabisan argumentasi,” jelasbnya.
Kampanye hitam yang dilakukan politisi sama, tambah Eka, saja melecehkan akal sehat dan sangat merusak jalannya demokrasi.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo menyebutkan sejumlah modus kampanye hitam atau black campaign. Kampanye hitam ini termasuk kampanye politik yang mengandung ujaran kebencian serta politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
“Ada beberapa modus politisasi SARA atau kami sebut modus terkait dengan black campaign,” ujar Ratna dalam diskusi virtual tentang Pilkada Tanpa Ujaran Kebencian, baru-baru ini.
Pertama, pidato politik yang cenderung mengarah kepada politik identitas yang bermuara pada SARA.
Kedua, ceramah-ceramah provokatif di tempat ibadah atau acara keagamaan. Menurut Ratna, untuk mencegah modus ini di Pilkada 2020, Bawaslu membutuhkan pendekatan-pendekatan yang struktural kepada tokoh-tokoh agama.
Keempat, penyebaran ujaran kebencian oleh akun-akun anonim di media sosial atau akun tidak resmi yang tidak didaftarkan calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).